Usai.
Itu kata yang kamu ingin aku labuhkan,
bukan? Setelah
apa yang terjadi di antara kita—segala kisah yang menyisakan lelah—kamu
memutuskan untuk melupa. Menuduhku sebagai penyebab air matamu takjua
mengering.
Seandainya
bisa kaulihat, di dalam hatiku setelah katamu itu, ombak-ombak mulai terbentuk.
Ia bagai kekuatan yang bertenaga menghempas-hempas pemecah gelombang di pinggir
laut: mulai
mengganggu keangkuhanku yang tinggi, yang enggan mengaku salah. Ia sungguh
semakin kuat, ketika kusadar, kamu sudah jauh lebih dulu mengalah.
Karena
mencintaimu begitu sederhana, tetapi tidak sesederhana itu. Rumit? Ya, seperti
itu perjalanan yang kita lalui selama ini. Ketika langkah kita masih jajar dan
kata-kata menjadi sesuatu yang selalu kita rangkai—sebelum kamu mematahkannya
dengan memilih pergi.
Jadi,
sebenarnya siapa yang salah. Kamu atau aku?
Tidak ada yg salah kecuali ego.
Terlalu merasa benar, terlalu tinggi hati untuk kembali mengatakan rindu,
"di kepalaku, meski benci, yang ada hanya kamu," Namun, benarkah
mencintaiku sederhana yg rumit? Lantas, melukaimu kah? Jika ya, maaf mungkinkah
cukup menyembuhkannya? Aku hilang cara, tolong ajari sekali lagi.
Mungkin,
kamu perlu terjatuh lebih dalam lagi untuk menyadari seperti apa aku membangun
perasaan ini untukmu. Supaya kamu tahu, seperti apa luka yang sebenarnya. Ini
bukan tentang maaf. Ini tentang kamu belajar untuk memahami. Suatu waktu nanti,
rasa sesal akan singgah di hidupmu—bila kamu masih saja bersikeras seperti yang
lalu.
Maka, terserah kamu saja. Kecewa,
benci, sudah kutebak sejak jauh hari. Apa pun yang kamu putuskan, tidak
seharusnya aku keberatan. Meski, perasaan ini mulai mengikutimu, kekerasan
hatiku, kusadari menjadi pengganjal. Mengubah itu, sayangnya butuh kesabaran.
Aku takhendak memaksa. Kamu terlalu luar biasa untuk kekerasan hati seorang
manusia.
Sebenarnya
yang ego aku atau kamu? Aku tidak pernah meminta apa pun padamu; aku yang
berusaha menjadi sesiapa yang baik untukmu. Mungkin, aku hanyalah gugur
dedauanan yang ranggas dari hatimu. Yang jatuh tanpa kata—dan kamu menganggap
segala langkahku sebagai sebuah salah. Coba, dinginkan kepalamu. Aku menerima
maafmu—lebih daripada itu aku ingin kamu mengerti bahwa tidak ada yang sempurna
di muka bumi ini. Termasuk kamu.
Kamu, daun gugur itu: yang mengajarkanku
banyak hal. Meski tergeletak, tua, taklagi berdaya, ia tertinggal jadi apa saja
yg menyuburkan, termasuk hatiku yg tandus dan kekeringan. Dan entah bagaimana,
bisa-bisanya aku berharap semoga ini adalah salah satu cara yg bisa melembutkan
hatiku, yg bisa mendewasakan kita pada akhirnya.
Jangan
katakan dewasa bila kamu tidak pernah mau mendengar. Ingat dewasa dan
memantaskan diri adalah pekerjaan bersama—sementara kamu memilih tuli atas
segala yang kukatakan. Percayalah, sayang, aku tidak ingin suatu hari nanti
ketika kata "pergi" menjadi takdir kita, kamu akan memaki waktu untuk
mengulang segalanya kembali.
Akan kudengar apa saja kali ini.
Tenagaku sudah habis lebih dulu untuk menyesali kerasnya hati. Sekali lagi,
namun bila akhirnya tetap sulit kamu terima, dan lebih memilih untuk hanya
mengantarkanku pada kesadaran, tanpa ingin lagi menemani, silakan. Sebisa
mungkin aku taklagi ingin memberatkanmu, baik hatiku.
Tenang,
sayang. Aku hanya ingin kelak jalan yang kita lalui ialah apa yang kita sepakati.
Sama-sama menjatuhkan ego untuk menemukan persamaan itu. Dengan mendengarkan,
kita tahu bahwa meskipun di antara lelah, rindu itu tetap sampai. Kembalilah,
aku di sini untukmu.
Tolong
untuk selalu menjadi pengingat yang takpernah lelah, takpernah bosan,
kekasihku. Menjadi lengan yang selalu terbuka, menghangatkan. Aku takingin
kemana-mana, karena pada sabarmu, pada degup dadamu, aku menemukan tenang.
Kolaborasi Ariqy Raihan dan Desi P Lestari
Jakarta - Purwakarta,
19 Maret 2018
Kolaborasi Ariqy Raihan dan Desi P Lestari
Jakarta - Purwakarta,
19 Maret 2018
0 comments:
Post a Comment