Apa kabar kau yang di sana? Berulang kali aku
menanyakan kabarmu, padahal tak sedetik pun pertanyaan itu tersampaikan. Aku berteriak,
di antara sabana yang terik. Melamunkan senja, dan riak air tergenang,
berkecipak terinjak-injak.
Dua hari yang lalu, aku melihatmu tersedu-sedu. Jangan
kautanya mengapa aku tahu. Jangan kautanya mengapa aku ada di situ. Aku ada di
mana pun kau berada.
Kita adalah sepasang jiwa yang tak pernah menjadi
satu. Meranggas setumpuk rindu satu demi satu hingga akhirnya bibir ini terus
kelu. Tak kuat menelisikkan kata rindu yang kini sudah mengering. Lautan hampa
yang kauteriaki tiada artinya.
Aku sudah pergi. Iya, aku harap itu tak menjadikan
jarak ada. Sekali lagi, aku adalah manusia yang menghamba pada harap yang
tiada. Kupikir, ada satu atau dua hal bisa diperbaiki; kau memilih tak merasa
apa-apa lagi.
Kini, dalam almanak kusam di dinding kamar terhitung
angka enam: tahun yang memisahkan perasaan kita. Dilarung dalam dasar samudra
kehilangan; mati asa. Hati menjadi pekat dan getir menanti kepulanganku.
Kebersamaan yang rantas; semakin lama terus terhempas.
Kamu sudah senang? Atau hanya sibuk mengenang? Walau
kisah kita yang memang takpernah ada ini sudah lama tenggelam dan menghilang;
aku percaya, suatu hari nanti, aku akan mewujudkan, apa yang kutunggu adalah
akhir yang benar. Tapi kau takmau percaya.
Bagimu, aku adalah rasa yang dulu pernah ada. Laiknya
kain-kain di tengah hirukpikuk pesta; lembut sutera yang meliuk di sekujur
tubuhmu. Saat usai, ditinggalkan. Tapi, masa bodoh. Aku hanya ingin menanyakan
kabarmu saja hari ini.
saaad :(
ReplyDeleteyang sabar ya :(
Deletesaaaad :(
ReplyDelete