Aku
rela menunggu lama, bila itu artinya aku akan menemukanmu. Aku pernah bilang
itu sebelum kamu memutuskan pergi. Persetan dengan waktu. Kamu tidak
selamanya menghilang. Aku percaya itu. Mencintai tidak pernah mudah, termasuk
melupakanmu.
Kamu
duduk dengan sedikit gelisah di ruang keluarga—ruang aku mengingat segala
kenangan kita. Bicara santai dengan orang tuamu, bercanda dengan adik lelakimu
yang masih sekolah dasar itu, atau menatapi sejarah kehidupan keluargamu
melalui bingkai-bingkai foto di lemari besar dekat lorong menuju ruang tamu dan
yang melekat di dinding.
Pertemuan
pertama selalu punya ruang khusus di perpustakaan kepalaku. Pertemuan taksengaja
di sebuah perpustakaan ketika ternyata kamu sedang mengembalikan buku yang
hendak kutanyakan keberadaannya pada pustakawan.
Senyuman
semanis gula dan tatapanmu yang teduh itu—tersembunyi di balik bingkai hitam.
Bila sekarang sedang hujan, mungkin aku berteduh di kedua matamu. Aku berhasil
mencuri perhatianmu ketika kukatakan buku itu yang hendak kupinjam dan
berterima kasih padamu. Kamu hanya mengernyitkan dahi.
“Alfa,”
kataku.
“Hana,”
katamu.
Tidak
perlu menunggu waktu lama untuk bicara karena di sana aku selalu menemukanmu.
Kini, perpustakaan menjadi tempat kesukaanku. Ketemu kamu. Dua bulan lamanya.
Di
bulan ketiga, aku memberanikan diri datang ke rumahmu untuk sekadar
bercengkerama. Gila, mungkin. Kamu perempuan pertama yang membuatku seperti
ini. Dan setelah satu tahun berlalu, aku sadar bahwa kamu tidak sepenuhnya
benar-benar tertaut padaku.
Itulah
alasan, di momen lebaran, aku punya alasan untuk ketemu kamu. Celung matamu sedikit
berair. Mungkin, kamu merasa bahwa hari ini penentuan segalanya.
“Bolehkah?”
tanyaku menunjuk ke arah cangkir teh di depan meja.
Kamu
mengangguk. Aku menyesap teh itu resap-resap. Kehangatan mengalir dari lidahku
ke tenggorokan, lalu ke dadaku. Kepulan-kepulan serupa kenangan yang berusaha
menyeruak keluar dari dalam kepala.
“Aku
tidak akan lama, Na.”
Kamu
tidak menjawab apa-apa.
“Aku
tahu, setahun lalu tidak benar-benar siap. Kamu tidak siap. Pertemuan yang
singkat, hanya lima bulan, dan aku begitu berani mencoba meminangmu.”
Kamu
menggenggam jemarimu erat-erat. “Jangan kamu tahan semua perasaanmu begitu.
Kalau ingin marah, marah saja. Kalau ingin membenciku, benci saja. Aku enggak
peduli dengan waktu. Dengan semua itu.”
“Alfa
....”
Lirih
suaramu yang menyelusup ke dalam kebisuan hati. Di sini membeku, Hana. Kamu
tidak tahu bahwa hanya kamu satu-satunya yang ingin kuperjuangkan selama ini.
“Ayahmu
belum pulang, kan?”
Kamu
menggeleng. “Ia masih di rumah Pak Min. Sejak lebaran dua hari lalu, ia belum
sempat mampir ke rumah sahabatnya itu.”
Aku
hanya mengangguk saja.
“Alfa,
Aku tidak ingin kamu menyesal nantinya.”
“Apa
yang harus kusesali?”
“Kamu
rela menunggu lama sementara aku tidak bisa memberi kepastian padamu.”
Aku
terdiam sebentar. Mengacak-acak rambut ikalku dan mencengkeramnya untuk
beberapa detik. Bulan kelima aku mencoba melamarmu dan ayahmu dengan tegas
mengatakan aku harus membuktikan padanya bahwa aku mampu. Pekerjaanku sebagai
penulis buku dan menulis lepas di beberapa media mungkin takcukup baik baginya.
“Kalau
begitu mengapa kamu menangis?”
“Aku
....”
“Jangan
bohongi perasaanmu, Hana. Itulah yang ingin kubicarakan sekarang.”
Tiba-tiba
adik lelakimu muncul di ruang keluarga. Menyalakan televisi. Aku sedikit
terkejut karena tidak menyadari kehadirannya. Kamu memanggil adikmu dan
menasihati agar tidak bermain di sini dulu. Ia mengangguk dan mematikan
televisi.
“Kamu
yang memutuskan pergi setelah ayahmu dulu mengatakan itu. Kenapa? Kamu merasa
aku tidak pantas untukmu?”
“Aku
hanya tidak ingin mengganggumu, Al.”
“Kalau
begitu, kau menang,” kataku singkat.
Keheningan
menjeda kami.
“Aku
berpikir kamu ingin mencari pelabuhan hati yang lain karena ternyata aku tidak
benar-benar bisa serius. Aku minta maaf bila telah menjadi orang yang kamu
anggap begitu.”
“Kalau
begitu, ketika Ayah pulang nanti, katakan kalau kamu akan meminangku. Sekali
lagi.”
“Itu
yang kutakutkan, Hana. Aku tidak peduli bagaimana waktu memisahkan itu. Aku
terus menunggumu. Sampai-sampai suatu hari, aku sadar kalau ternyata, aku tidak
akan pernah menemukanmu.”
“Apa
maksudmu?”
“Ya
... aku tidak benar-benar bisa membahagiakanmu. Mencintai dan melupakanmu tidak
pernah mudah.
Tetapi bukan berarti dengan memilikimu. Mungkin sudah saatnya aku
berhenti.”
Gerimis
benar-benar jatuh di matamu. Aku menawari tisu yang meletak di atas meja.
Sementara teh kita sudah mendingin.
“Aku
sudah belajar banyak dengan mencipta jarak padamu. Aku ingin kamu bahagia dan
aku tahu kamu tidak akan bahagia bila ternyata ayahmu tidak bahagia juga. Jadi,
sebaiknya aku mundur saja. Sampaikan salam lebaranku pada ayahmu.”
Aku
lalu beranjak dan menatapmu untuk terakhir kalinya. Setelah kaki ini menjejak
pergi dari ambang pintumu, saat itulah aku akan membunuh semua rindu. Persetan
dengan waktu.
0 comments:
Post a Comment