“Hei!
Sendirian aja?”
Di
tengah lamunanku sewaktu jam makan siang di kantin Sapta, sebuah suara yang
tidak asing terdengar dan membuat lamunan itu berantakan. Aku menoleh. Iza dan
seseorang lain lagi yang tidak kukenal. Berbeda dengan Iza yang hari ini menggunakan
kerudung biru, senada dengan kemeja jeansnya, gadis yang bersama Iza itu
memiliki rambut cokelat sebahu. Tatapannya begitu tajam—seakan tidak suka ada
di sini.
“Ya,
kelasku Kamis ini cuman tadi pagi aja yang bareng kamu.”
“Kenalin,
ini Mia. Anak Manajemen. Sesama pencinta puisi juga.”
Iza
menyenggol tangan gadis yang sedikit cuek itu, lalu dia menyodorkan tangan
kanannya ke arah. Aku balas menjabatnya. Mereka pun duduk di hadapanku. Iza
meletakkan beberapa buku dari pelukannya ke atas meja. Pemandangan yang selalu
kulihat selama tiga tahun mengenalnya.
“Mia
ini teman satu kosanku. Kami suka tukar-tukaran buku puisi,” kata Iza melirik
ke arah Mia. Gadis itu tersenyum terpaksa. “Aku sebenarnya agak maksa dia ikut
ke sini biar bisa temenin aku. Kamu tahulah, si I—“
“Ya,
aku tahu dia lagi ada lomba olimpiade Ekonomi di Bandung,” jawabku melanjutkan
kalimat Iza. Aku tidak ingin mendengar nama sahabatku itu meluncur dari mulut
Iza. Aku tidak membenci lelaki itu. Dia bahkan tidak tahu bahwa aku (masih) menautkan
perasaan pada Iza.
“Kamu
pernah nerbitin buku, Qy? Kok, aku baru tahu, sih, kamu suka nulis puisi dan
prosa begitu?”
Iza
mendorong sebuah buku yang tadi diletakkannya di atas meja ke arahku. Aku
melihatnya dan kemudian cukup terkagum. “Wow. Hujan Matahari karya Mas Gun.
Salah satu favoritku.”
Iza
tersenyum. Semanis gula. Dan rasanya aku rela menderita diabetes bila Iza
penyebabnya. Aku membereskan peralatan menulisku yang tadi meletak sembarangan
di atas meja sebelum melamun. Memikirkan perihal masa depan tanpamu. “Bukan
sebuah hal besar, kok, bisa nulis semacam itu. Bagiku sebuah kepuasan, bagi
orang lain mungkin hanya hal biasa.”
Mia
tertawa pelan, sedikit meremehkan. Aku menaikkan sebelah alisku.
“Kau
pesimis sekali.”
Mia
pun bergabung dalam percakapan ini. “Kau harus percaya diri dengan apa yang
kautuliskan. Menulis puisi, prosa, cerpen, dan novel punya dimensi berbeda
ketika kau menulis paper atau bahkan
sebentar lagi: skripsi. Kepuasan yang diberikan juga berbeda.”
Perkataan
Mia membuatku berpikir. Sementara Iza beranjak untuk memesan makanan, aku
berusaha untuk mengendalikan diri juga. Keberadaan Iza tepat di hadapanku dan
pertemuan di koridor I kemarin juga membuatku seakan gila—jarak kami terlipat begitu banyak.
“Ada
alasan mengapa saat ini aku harus menulis ....”
“Apa
karena seseorang?” tanya Mia.
“Hmm
...,” jawabku ragu, “Ya ....”
Mia
tertawa lagi. “Sudah kuduga!”
Matanya
berkilat-kilat, seakan sedang menemukan sebuah permata. Kini, dia sudah mulai
mencair. Tatapannya taklagi tajam dan seakan ogah berada di sini. “Alasan itu
memang selalu kuat. Ya, aku dan Iza juga dulu mulai menulis dengan alasan yang
sama.”
Aku
mulai keheranan. “Kalian sudah kenal dari lama?”
“Dari
SMA,” balasnya cepat. “Aku dan Iza dulu pernah mewakili sekolah di ajang lomba
menulis tingkat nasional. Sayangnya kami kandas di tengah jalan.”
Mia
mengatakannya seakan hal itu bukan sebuah penyesalan baginya. Aku curiga apakah
dia memang tidak pernah merasakan sedih juga.
“Siapa
orang yang membuatmu saat ini harus menulis?”
“Rahasia.”
“Huh,”
ujarnya sedikit menertawaiku, “semua orang punya rahasia. Apa dia anak
jurusanmu?”
Mia
ternyata jauh lebih dingin dari yang kupikir. Meskipun tadi terasa suasana
sudah sedikit mencair daripada perkenalan di awal, rasanya ini masih saja dingin
seperti es. Mia melakukannya seolah tidak bersalah apa-apa.
“Dia
....”
“Siapa,
Qy, anak jurusan itu?” tanya Iza tiba-tiba.
Dia
duduk membawa nampan berisi dua piring nasi soto ayam favorit pengunjung kantin
Sapta. Dibagikannya satu piring nasi soto ayam ke hadapan Mia. Gadis berkulit
kuning langsat itu tersenyum lebar kepada Iza dan mulai menyantap hidangan itu.
“Tadi
sambil jalan ke sini aku mencuri dengar sedikit soal anak jurusan yang
berkaitan dengan rahasia. Jadi siapa dia?”
Iza
menatapku dan kemudian memindahkannya ke Mia. Gadis itu mengedikkan bahu dan
menganggukkan wajah sembari melihatku. Sungguh, situasi ini benar-benar
membuatku beku. Apa aku harus mengatakan namanya saat ini juga?
“Nggak
ada apa-apa, Za.”
Dia
melonggarkan sedikit kacamatanya dan menatapku lebih dalam lagi. “Ngapain kamu
bahas jurusan sama si Mia ini? Mau negosiasi jodoh, ya?” kata Iza. Kemudian dia
tertawa pelan.
“Soal
alasan menulis, Za,” kata Mia.
“Kenapa
tuh?”
“Alasan
dia sekarang harus menulis adalah karena seseorang. Dan kutebak di jurusannya.”
Iza
memandangku seakan dia menyadari sesuatu. Setelah membetulkan kacamatanya dan
kemudian menyantap soto ayamnya, gadis itu memainkan ponselnya.
“Jadi,
siapa orang itu, Qy?”
Kali
ini aku benar-benar tergeragap setengah mati. Bagaimana caranya aku menjawab
pertanyaan dari seseorang yang dirinya sendiri merupakan jawaban itu? Tuhan,
berikan aku satu saja jalan keluar dari situasi ini. Dan dalam sekelebat di
ruang pikiranku, nama Arindya muncul begitu saja.
“Arindya,”
kataku berbohong.
Iza
dan Mia memandangiku bersamaan. “Arindya?”
Aku
merasa keduanya tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Sejenak aku menatap
keramaian di sekelilingku, di barisan meja-meja yang penuh dan obrolan dari
para mahasiswa yang hanya sekadar melintas. Sejauh ini Iza memang tahu kalau
Arindya sahabatku. Tetapi sungguh aneh ketika Mia juga terheran.
“Ya.”
“Hmm
... seleramu bagus juga,” kata Mia. “Mungkin kau harus coba soneta cintanya
Pablo Neruda. Kalau kau kasih itu ke aku ... aku akan mencium bibirmu saat itu
juga,” kata Mia cuek. Aku terkejut. Dia kemudian tertawa, seakan bicara seperti
itu sama saja sedang meledeki bocah yang sedang bermain di taman.
Iza
ikut tertawa, walaupun aku memandang ada sesuatu yang aneh di wajahnya. Seperti
dia takbenar-benar larut di dalam lelucon Mia. Dia melanjutkan santapannya.
“Ide
yang bagus. Terima kasih.”
Mia
berhenti tertawa dan juga melanjutkan santapannya. Sejenak, tercipta hening di
antara kami. Yang kuyakin bukan karena sibuk pada santapan masing-masing. Aku
hanya belum tahu mengapa.
“Kapan-kapan
tukeran puisi, yuk! Aku tulis satu, kamu tulis satu, lalu kita nanti nilai
punya masing-masing. Gimana?”
Aku
menimbangnya. Berpura-pura. Aku tidak punya pilihan untuk mengatakan tidak.
Walaupun ada rasa takut bahwa Iza bisa menebak seseorang yang kumaksud di dalam
puisiku. Atau setidaknya itu tantanganku sekarang. Menulis puisi tentang Iza
tanpa dirinya benar-benar sadar dialah yang hidup di dalam puisi itu.
“Deal.”
Aku
tersenyum lebar dan kemudian memasukkan peralatan menulisku ke dalam tas.
Sebelumnya, aku mengeluarkan jaket hoodie
Kampus Pertanian dari dalam tas itu dan mengenakannya.
“Aku
harus pergi sekarang. Ada keperluan. Selamat siang ....”
Aku
beranjak dan kemudian berusaha menghilang secepat mungkin. Hari ini benar-benar
gila.
0 comments:
Post a Comment