Hujan adalah peluru
rindu. Lontar dari selongsong semesta dan menembus ruang-ruang kenangan.
Memoriku menggeliat, mencari-cari hendak ke mana peluru itu melaju. Dan setelah
perjalanan yang melelahkan, sampailah ia pada rak paling bawah. Jauh di bawah ruang
persembunyianku. Dan peluru itu mencari kenangan lampau: kau.
Aku tersentak. Sudah
tahun ketujuh dan hujan hari ini memutuskan untuk mencarimu kembali.
Takbiasanya aku yang acap menikmati hujan hari Selasa di balik jendela kamar,
kemudian tiba-tiba ingin pergi ke luar. Untuk pertama kali dalam tujuh tahun
Selasa-ku, aku memutuskan untuk meraih peralatan menulis di atas meja dan
kemudian membawanya pada sebuah kedai kopi di pinggir jalan, lima belas menit
perjalanan dari rumah. Hari ini aku memutus ritual terhebat dan terpanjang;
menikmati secangkir kopi hangat di kedai kopi pinggir jalan besar yang biasanya
kulakukan setiap hari Sabtu.
Lalu, sore
ini aku memutuskan untuk mengingatmu.
Kau seperti bidadari,
mengetahui itu membuatku patah hati. Memilikimu adalah kemustahilan yang sudah
dipastikan dalam selembar takdir. Kira-kira seperti itulah pendapatku
tentangmu. Aku takperlu repot-repot mendeskripsikan lebih lagi. Pertemuan kita
delapan tahun lalu sudah menjawab segalanya. Kita sama-sama mengenakan pakaian
sekolah abu-abu. Di hari perkenalan, aku sadar debar jantung ini taklagi
berdetak di irama seharusnya. Rasanya, kehadiranmu membuatnya mencari irama
lain: iramamu.
Tapi, lidahku berkata
lain pula. Dia memilih diam. Aku benci. Hingga setahun berlalu, akhirnya kami
berdamai dan aku pun mengatakan segala dari yang meranggas dada hingga mencekat
tenggorokan. Apa yang terjadi? Kau hanya menatap dengan pandangan yang
menurutku adalah sebuah jawaban: tatapan enggan.
Hati ini rasanya patah.
Kaubilang jika perasaanmu sudah diperuntukkan bagi orang lain. Orang yang bisa
mendatangkan bahagia untukmu. Lalu, bibirku berkata bahwa lebih baik untuk tak
merasa apa-apa lagi.
Kau pun melenggang
pergi.
Hingga setelah tujuh
tahun, datanglah hari yang kubenci. Hari di mana sebuah pesan daring di grup chatting
WhatsApp SMA masuk, memberitahuku sebuah kecelakaan mobil dahsyat di jalan tol
merenggutmu.
Persetan
dengan takdir.
***
Sore ini mulai senyap.
Setelah hari memanggil minggu, hingga bulan pun turut terpanggil, aku ingin
kembali bertamu ke tempatmu. Tempat di mana kau tinggal di dalam kehidupan yang
sebenarnya. Untuk itu, aku harus memastikan hingga benar-benar sendiri. Aku
takingin sesiapa pun melihatku berlama-lama di sini.
Tapi ...
Apa yang kulakukan di
sini? Seperti tetiba kehilangan arah. Aku takpernah diciptakan untuk bisa
berada di sini. Berdiri di
hadapan pualammu. Aku
ditakdirkan hanya untuk mencintaimu dalam diam. Dalam doa yang terus
dilangitkan sekalipun sadar bahwa sesesak apa pun dadaku kala menyebut namamu,
memilikimu aku takbisa.
Tuhan,
bolehkah aku menulisi takdir sendiri sekali saja?
Dan kini kaupergi.
Selamanya. Tahukah betapa sakitnya itu?
Aku mencoba untuk
melepaskan. Berkelana, entah ke mana rasa sakit ini membawa pergi. Sudah
puluhan hujan kulewati, tapi basahnya masih saja, mengandung kenangan
tentangmu. Tentang hubungan kita yang takpernah ada. Mungkin aku hanya
ketiadaan yang mencuri rindu padamu. Diam-diam dengan membentang jarak yang tak
disangka-sangka olehmu.
Memikirkannya saja sudah
membuatku patah lagi. Kini, di bangku kayu kecokelatan taman takjauh dari
tempatmu dihantarkan ke pelukan bumi, dengan lampion berdiri di samping
menemani, di antara dingin salju yang sedang takgaduh, aku (sekali lagi)
mencoba untuk melepaskan.
Dari Senin, ke Selasa,
hingga Senin lagi. Hingga detik-detik terus bergulir tanpa henti, aku mencoba.
Tapi senyummu takmau hilang dari dalam kepala. Bayangmu terus saja berlarian di
sekitarku. Tuhan, apakah boleh aku memaki diri sendiri? Aku ingin melakukannya
berkali-kali, mungkin sampai mati. Sampai aku mengerti mengapa ketika dirimu
sudah tiada, aku baru menyadari betapa aku kehilanganmu.
Tidak, tidak. Ini salah.
Seharusnya lelakimu yang gundah dan sakit seperti ini. Bukan aku.
Bukan aku.
Tapi mengapa sulit
sekali untuk menjadi setenang laut? Mengapa sulit sekali menjadi sediam malam?
Dan puluhan puisi
kutulisi, tetap saja takkuat menampung kenangan tentangmu. Sehebat apa pun aku
berkata, sejauh apa pun aku melangkah dengan arah yang berlawanan darimu,
ternyata jalanku akan selalu menujumu. Menuju rindu yang terkubur bersama
tubuhmu ke dalam cokelat tanah yang kini basah dilumuri oleh hujan.
Pun dari mataku.
Dari bilik
matamu, kutemukan
gerimis
jatuh setiap pagi; kutemukan
pula kobaran
panas api membara
Dari bilik
matamu, kutemukan
setitik
bayangan diriku
perlahan
memudar
dan
takterlihat lagi
Selesai menulisinya,
tanganku gemetaran teramat sangat. Seakan semua energi terpusat ke kedua
jemariku. Menjalar ke dalam pena dan tumbuh subur menjadi kata-kata lirih,
memanggil-manggil kepergianmu yang masih hangat itu. Bahkan lelakimu pasti tak
merasakan seperti ini. Ah, dia hanya menawarkanmu bahagia dunia saja—semu.
Bahagia itu ialah saat
dua perasaan menyatu dalam naungan rindu. Disiram oleh ketulusan sehingga
tumbuh subur dan indah menjadi bebungaan. Seperti itulah bahagia. Seperti
itulah cinta saat kita ditakdirkan bertemu namun tak menjadi satu. Aku dengan
kesendirianku dan kau dengan ketidaktahuanmu perihal aku.
Bukan perihal aku
menyukaimu—itu kau tahu, tapi perihal bahwa sekalipun almanak terus berganti hingga
tahun ketujuh, hingga berita kepergianmu sampai ke daun jendelaku, aku masih
saja mencintaimu. Bahwa aku sepatah ini kehilanganmu. Apakah jauh di dalam
hatimu sebenarnya kau sudah melupakanku? Atau alih-alih memikirkannya walau
hanya sedetik?
Entahlah. Berharap itu
rasanya seperti menunggui sesuatu yang takpernah datang. Sesuatu yang takpernah
sampai. Apakah jangan-jangan kau selama ini menunggui diriku? Atau
jangan-jangan selama ini kautahu jika perasaanmu salah dan harusnya akulah yang
ada di dalamnya?
Mengapa aku terus saja
bertanya-tanya?
Kala sore hari datang,
hujan kembali turun. Petrikornya memelesat memasuki hidungku. Menemani hangatnya
kopi. Rasanya menjadi sedikit tenang. Aku memejam mata. Semua gelap.
Lalu terang.
Tunggu, di
mana ini?
Aku mencium aroma air
asin. Dan suara riuh yang tak asing di telinga: deburan ombak. Aku membuka
mata. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Benar, telingaku tidak salah.
Hidungku tidak kelainan. Pelan-pelan aku melangkah, meningkahi pasir, menuju
bibir pantai. Sekelebat, sesuatu seperti menusuk kepala.
Lalu, semua kembali
tenang.
Seorang gadis sedang
duduk di bibir pantai itu. Mengenakan gaun putih, rambut kemerahan yang kian
jelas setelah terpapar sinar matahari sore ini. Aku tidak tahu siapa, tapi
hatiku berkata bila aku harus pergi menghampirinya. Dan itulah yang kulakukan
saat ini.
Gadis itu kini
tepat di hadapanku. Aku meletakkan telapak tangan di bahunya. Dia menoleh
dan tersenyum.
Hatiku patah. Gadis itu kau.
Lalu, semuanya menggelap kembali.
***
Aku terbangun dengan
peluh bercucuran membasahi wajah hingga baju yang kukenakan. Napasku sedikit
terengah-engah. Tadi ... pasti mimpi buruk .... entahlah, rasanya tiga hari ini
berlalu bagaikan malam tanpa rembulan dan sunyi senyap. Sulit untuk
membedakannya lagi. Dadaku bergemuruh. Laiknya ada rasa bersalah yang
menggenapi kehilangan.
Apakah pernyataan
perasaanku tujuh tahun lalu membuatmu tak menjalani hubungan yang dalam dengan
lelakimu? Kudengar, kau takbenar utuh bahagia dengannya. Jikalau iya, itulah
rasa bersalah yang menggentayangiku saat ini.
Maafkan aku,
Rie.
Maaf.
Ah, maaf mungkin takkan
cukup untukmu. Perihal kau harus hidup dengan mengetahui perasaanku, sementara
aku takpernah membuat sebuah keputusan yang benar. Mungkin bagimu salah, tapi
untukku itu cukup. Aku terlalu takut melawan takdir.
Atau mungkin aku yang
terlalu jatuh padamu?
Setahuku, takdir adalah
sebuah garis yang sudah ditetapkan, bahkan sebelum ruhku ini bersemayam dalam
tubuh. Dan seperti tinta yang melekat pada lembar-lembar kertas, takdir takbisa
dihilangkan atau diperbaiki sebegitu mudahnya. Itulah mengapa, aku takbenar
melipat jarak menujumu.
Aku tahu bukan aku yang
pantas untukmu. Kesederhanaanku takkan memberimu apa pun kecuali bahagia yang
utuh. Tapi, kupikir bukan itu yang kaucari. Cukup dengan omong kosong bahwa
hati perempuan terbuka untuk sesiapa saja, asal mau berani memasukinya.
Bagaimanapun juga, kalian, kau, tetap mencipta pilihan perihal siapa saja yang
boleh singgah di dalamnya. Lalu di antara tamu yang beruntung itu, dialah yang
akan memilikimu sepenuhnya.
Bahkan, aku takpernah
hadir di kedua bola matamu. Sekali lagi, mungkin aku hanya ketiadaan yang
mencuri rindu padamu.
Hingga suatu hari,
kawanku berkata bahwa perihal jodoh adalah takdir
ikhtiari, sebuah takdir yang hadir karena usaha. Karena tindakan. Sedalam
apa inginku untuk tak menguap menjadi angan, seperti kopi hangat dengan kepulan
asap yang makin lama akan segera memudar. Di saat itulah kopi hilang
kenikmatannya. Di saat itulah harapanku akan memudar jika aku berdiam diri
saja. Tapi, nyatanya Tuhan berkelakar. Kala kuputuskan untuk membuat sebuah
langkah, Ia memanggil kau kembali ke peraduan-Nya. Ia mengirimmu ke dalam basah
tanah yang semakin lumur oleh deras hujan dari mataku. Dari mata penghuni
langit yang menemaniku sesorean ini di hadapan pualammu.
Oh, kau. Aku ingat betul senyum itu kala kita berpapasan di koridor A,
kala sama-sama kerap mengunjungi rak sastra di perpustakaan, kala kau
duduk-duduk di taman depan kampus. Pun kala kau bersisian dengan lelaki lain.
Aku ingat betul senyum-senyum yang takpernah tertuju padaku. Entah bagaimana,
aku bisa melihatnya dan berasumsi jika itu untukku.
Sekali lagi,
mungkin aku yang terlalu jatuh padamu.
Sajak Pablo Neruda,
Sapardi, takkan melebihi perasaanku padamu. Ribuan puisi yang kutuliskan untukmu
kini hanya memenuhi dinding-dinding kamar yang kian dingin. Seperti telapak
tanganmu di hari kaupergi meninggalkanku. Seperti wajahmu, pucat pasi, bibirmu
yang membiru, dan semua puisiku yang takkan hangat lagi selamanya.
Tentangmu, terus
berkelindan di dalam ruang pikiranku. Tuhan, bolehkah aku menyusul?
Dan lagi, Tuhan hanya
diam saja. Dibiarkannya aku tersuruk dalam kubangan lumpur. Ditambahkannya
deras hujan hingga akhirnya aku berpasarah menunggu derai berhenti. Menunggu
aku mati. Tapi, Tuhan tak mengizinkan pula aku pergi menyusulmu. Lalu, mengapa
kehilanganmu aku sepatah ini? Sehancur ini? Padahal tak sekali pun aku
pernah memiliki hatimu. Tak sepercik pun tempiasku pernah melekat di
dadamu.
Tak beberapa tetes tinta
abadi mengukir namaku di ruang perasaanmu.
Tak sedetik pun ada aku
di ruang pikiranmu.
Tapi mengapa aku sesesak
ini?
Dan malam pun kian lalu.
Aku tetap bisu. Jatuh dalam puisiku sendiri yang semakin patah, menjadi
keping-keping kenangan yang tak utuh lagi. Dan untuk itu, aku membusuk di sini.
Tanpa tahu, jika ternyata umurku tak sependek ini dan aku taklagi
menginginkannya. Mungkin secangkir kopi hangat bisa menjadi pertemuan terakhir
sebelum aku bertemu dengan-Mu selepas menyesapnya habis.
Tuhan, bagaimana
menurut-Mu?
SELESAI
0 comments:
Post a Comment