Kamu
pernah berjanji padaku untuk tidak membicarakan masa lalumu lagi. Sekalipun ia
terus menujumu, menerabas dinding-dinding kenangan bernama kepergian, kamu
sudah berjanji padaku. Tapi, ketika kereta hari Rabu melintas, di bangku
stasiun kereta kamu bilang jika ingin mempertimbangkan semua perkataanmu
kembali.
Di
antara dingin yang menyelusup malam ini, aku terdiam. Bukan aku tidak ingin
membakar api di dalam dada, tapi kita sadar kita bukan lagi anak-anak yang
sekali melihat sesuatu yang lebih baik, seenaknya melupakan apa yang telah
diucapkan. Padahal malam ini, kita sepakat pergi ke Bandung untuk merayakan
kelulusan kita.
Wisuda,
momok yang selalu kita perjuangkan. Pagi sampai pagi lagi, kita mendukung satu
sama lain. Namun kamu terus berkilah, bahwa janji-janji yang diucapkan kala
kamu bergerimis di lapangan belakang Gymansium itu hanya perasaan sesaat.
Lelaki yang membersamaimu selama empat tahun itu pergi meninggalkanmu hanya
karena seorang wanita lain yang katanya lebih baik darimu.
Di
sepanjang perjalanan kereta eksekutif menuju Bandung, kita dipisahkan oleh
diam. Laiknya kata demi kata ingin keluar dari tenggorokanku namun rasanya ada
kemacetan akut di sana yang mencegahku mengeluarkannya. Begitu pun kamu, yang
hanya terus-terusan menatap kaca jendela. Yang kamu lihat bukan bayanganku.
Mungkin saja bayang-bayang masa lalu yang masih menggantung di dadamu.
Mungkin
kenangan-kenangan masa lalu yang perlahan menggantikanku di dalam ruang-ruang
pikiranmu. Entahlah, aku gila sendiri memikirkannya.
Setahun
yang lalu, saat aku menemukanmu bergerimis di lapangan belakang itu, tak ada
yang terpikirkan selain menawarimu tisu yang entah bagaimana ada di saku
jaketku. Tadinya mau lari malam, namun kusudahi niat itu dan duduk di
sampingmu.
Lima
belas menit sungai meriak di pipimu, dan telingaku ada untukmu. Malam yang
memekat, diterangi lampu-lampu lapangan, tak ada sesiapun lagi di sana. Kamu
pun menyandarkan kepalamu pada bahuku. Aku membelai pelan rambutmu, menghapus
basah di bilik matamu.
Dua
tahun aku hanya bisa menatapmu dari jarak yang sengaja kuciptakan untuk tak
bisa ditemukan, dan kini Tuhan mempertemukanku di suasana seperti. What A day!
Dan
semua itu rasanya menguap serupa asap-asap pabrik yang pekat dan terbuang.
Menghilang di udara dan pergi tanpa satu kata pun saat hari ini kamu mengatakan
padaku perihal lelaki itu. Dua bulan lalu, aku memberimu sebuah cincin dan
berkata bahwa suatu hari nanti aku akan mewujudkan janjimu. Ya, kamu berjanji
untuk melupakan masa lalumu dan merajut hari-hari berikutnya, detik-detik
berikutnya bersamaku; sesaat setelah tangismu mereda dan aku mengatakan semua
rasa yang sebelumnya hanya menyesakkan dada.
Kamu
tersenyum. Di antara sesenggukanmu, lengkung senyum hadir, dan dengan suara
parau kamu mengatakan ‘Ya’.
Tiada
hal lain yang membuatku terbada. Rasanya seperti membeku tujuh puluh tahun di
dalam pesawat Hydra di Antartika
sebelum Tony Stark menemukanku. Saat
itulah aku memutuskan untuk membangun jalan menuju surga bersamamu. Dan melalui
cincin itu aku ingin mewujudkannya.
Cincin
yang kini melingkar di jari manis kananmu.
Namun,
ketika seminggu lalu, lelaki itu itu kembali menghubungimu, rasanya takmasuk
akal kamu masih percaya dengan semua janjijanji yang dulu diucapkannya, dan
kemudian dikhianatinya sendiri. Kamu perlahan seakan buta dengan apa yang
pernah kita lalui.
Aku
tidak pernah memberimu janji, tapi bukti. Kupikir memang aku yang kamu
inginkan. Bukankah begitu?
Satu
jam berlalu, kamu masih menatap kaca jendela. Sedalam apa kamu menyelami masa
lalu? Apakah aku bukan lagi sesuatu untukmu sehingga kamu abaikan begitu saja? Aku
menunggu, detik demi detik berpihak padaku, menyelundupkanku ke dalam ruang-ruang
pikiranmu untuk mencari tahu, seperti apa rasanya ketika masa lalu kembali
menghantui danau perasaan yang sebelumnya mengering dan kini perlahan terisi
kembali?
Seperti
apa rasanya aku menjelajah pikiranmu sementara kamu mulai memikirkan lelaki
itu?
Atau
mungkin aku sudah tersapu dan terlupakan?
Terlalu
cepat dan kamu pasti akan berkata aku berlebihan. Lalu, aku pun menggenggam
jemari kananmu yang meletak di kursi. Sementara tangan kirimu menopang dagu.
Diam itu butuh untuk dipecahkan. Sekalipun kita punya pilihan masing-masing,
biarlah laju kereta menuju Stasiun Bandung ini menjadi momen-momen yang
bahagia untuk kita, sejenak melupakan hal-hal yang meranggas pikiran.
Anehnya,
gerimis hadir di matamu. Dari terang lampu-lampu kereta aku bisa melihat siluet
itu. Aku menatap pantulan wajahmu dan kemudian ada basah yang mengalir dari
bilik matamu. Aku menguatkan genggaman tanganku. Di antara dingin yang
menguasai gerbong kereta, hangat tanganmu membuat dingin itu takterasa apa pun.
Kamu pun pasti begitu.
Gerimismu
menderas. Masih menatap kaca jendela. Aku mencari tisu di saku namun
tiada. Apakah ini pertanda? Bahwa
kenangan kita berakhir dengan kontradiktif pada pertemuan pertama kita? Kamu
pun menolehkan wajah ke arahku. Kedua bola mata kita berpadu. Gerimis matamu
membuatku seketika sendu, belati-belati menusuk dada. Membuatmu menangis adalah
kesalahan besar.
Aku
pun menguasap basah itu dari matamu. Matamu mendadak memejam dan merasai hadir
jemariku di wajahmu. Anehnya, justru hujan semakin deras. Kamu tidak baik-baik
saja. Tidak ada yang baik-baik saja selama hujan terus menderas. Termasuk hujan
di matamu.
“Nina,
tak usah lagi kamu menangis. Kita bisa membahas ini nanti, nikmati perjalanan
kita ke Bandung, ya?”
Kamu
menggeleng. Kamu menyibak rambut kemerahanmu ke belakang telinga, kemudian
membuka pejaman mata dan menatapku lamat-lamat. Selaiknya kita takkan bertemu
lagi.
“Entahlah,
Revan. Aku benci dengan perasaanku sendiri.”
“Lal—“
Belum
selesai kubertanya, tetiba kamu menempelkan bibirmu di bibirku. Di antara laju
kereta, di antara bangku-bangku kosong gerbong tiga di mana hanya ada kamu dan
aku, kita saling menemukan kehangatan di dalam bibir masing-masing. Mungkin
memang sebuah basah di bibir merah segarmu yang bisa mengobati tiap sesak di
dalam dadaku yang begitu bertubi-tubi. Mungkin kamu takperlu membenci
perasaanmu karena inilah jawaban dari hatimu. Masa bodoh dengan amarah, masa
bodoh dengan janji dari masa lalumu.
Aku
hanya ingin melalui detik demi detik bersamamu. Karena aku akan selalu
mencintaimu, sedalam yang kumampu.
SELESAI
Kumenikmati tiap bait kata tulisan ini....
ReplyDeleteterima kasih :)
ReplyDelete