Sepagian
ini, selepas subuh, ketika langit baru membuka matanya perlahan, awan-awan
keabuan sudah mulai menggulung. Memayungi Dramaga dari matahari dengan
gerimisnya yang seakan jatuh satu-satu. Kemudian turun serupa benang-benang
kusut.
Aku
terduduk di depan jendela kamar, memegang pena dan beberapa lembar kertas
kosong. Sudah setengah jam dan belum terisi apa-apa. Aku ingat betul pertemuan
kita tiga tahun lalu. Kita yang mulanya taksaling mengenal di kelas, entah
dasar apa dipersatukan di kelompok yang sama. Setiap semester seperti itu.
Mungkin,
akan terdengar klise bila kukatakan seperti itulah takdir yang bekerja. Tak ada
yang bisa menebak. Aku pun merasa begitu. Rasanya, kita memang ditakdirkan
untuk saling bertemu. Entah untuk alasan apa. Namun, suatu hari aku sadar bahwa
alasanku adalah untuk menautkan perasaan padamu.
Ya,
ternyata memang seperti itu yang terjadi pada diriku. Rindu datang tiba-tiba
dan mendera untuk sekian lama. Kecanggungan seketika melanda diriku. Sejak
perasaan itu melahirkan debar berbeda di dadaku, pertemuan tidaklah lagi
semenyenangkan dulu.
Ada
bagian dari diriku yang ingin pergi—menjauh dari perasaan yang telanjur jatuh
terlalu dalam. Dua tahun cukup untukku belajar segalanya. Memendam. Setahun
lalu tepatnya, aku pikir hati ini mantap untuk mengubah perasaan itu menjadi
lebih terikat lagi.
Ariqy, ingat prinsip yang kamu
teguhkan.
Suatu
hari, hatiku berbisik dengan sendirinya. Kupikir otakku mulai berdelusi atau
semacamnya. Bisikan tadi menyelusup ke dalam ruang pikiranku. Dan aku tertegun.
Rasanya seperti ada yang menampar wajah ini.
Aku sudah berjanji pada diriku
sendiri untuk tidak mengikat sesiapa pun terlalu cepat.
Dan
rasanya prinsip itu seperti menjadi penyekat perasaanku dengan kamu. Seperti
mengisi sebuah drum terus menerus lalu ditutup; air itu akan luber sementara
dengan susah payah tutup itu bertahan agar drum itu tetap seperti semula.
Perlahan,
hujan mulai menderas. Telisiknya menelusup cepat ke dalam gendang telinga. Aku
suka suara hujan. Petrichor yang
memelesat ke dalam rongga hidung, menyebarkan aroma damai. Pikiranku tenang
seketika. Ingatan tentangmu sedikit redam. Setahun berlalu, prinsip itu masih
teguh.
Membicarakanmu
saat ini seperti menyalakan api di dalam dada. Setelah kenanganmu kubakar
menjadi abu, ternyata tidak semuanya habis. Ada jejak-jejak yang masih tinggal
di dalam diriku—entah di mana.
Ketika
seseorang mencintai dalam diam, ia takpernah sadar bahwa ada jejak-jejak yang
ia simpan di suatu tempat di dalam dirinya. Jejak itu yang membuat perasaan itu
semakin dalam. Sampai-sampai ia pun tak menyadari bahwa dengan siapa pun nanti
ia melanjutkan hidup, jejak itu bisa memunculkan kenangan lampau suatu saat
nanti—meskipun pernah terbakar menjadi abu.
Iza;
takbiasanya aku menautkan perasaan seperti ini. Hal semacam itu tidak pernah
bergerak mudah untukku. Tetapi, ketika aku berniat melakukannya; aku
benar-benar serius. Kini, semua itu hanya memantul-mantul di dinding di antara
kita.
Iza;
cerita ini kutuliskan mungkin akan terbaca klise bila aku menceritakanmu
selaiknya teknik deskripsi karakter; wajahmu begini, karaktermu begitu, dan
lainnya. Aku hanya ingin mengatakanmu bahwa aku salah satu pengagum teduh
matamu yang dipayungi oleh bingkai mata itu.
Aku
salah satu orang yang baik-baik saja dengan kebiasaanmu yang suka terlambat
menyadari sesuatu. Entah sebuah pemikiran ataupun kelakar belaka. Bahkan
julukan “lemot” seolah tidak berarti apa-apa. Aku salah satu orang yang kerap
melihat punggungmu—karena hanya sampai itulah jarak yang bisa kucapai untuk
menujumu.
Lucu,
bukan? Ketika kamu memilih seseorang untuk berjalan bersamamu di dalam
kehidupan, ada seseorang lain yang juga mencintaimu seperti lelaki pilihanmu,
namun dia hanya bisa menciptakan spasi di antaranya? Artinya, untuk sesiapa
pun, ketika sudah memutuskan sebuah pilihan, bukan berarti itu satu-satunya
yang tulus menautkan perasaan.
Itulah
yang kupelajari dari keputusanmu. Tidak ada yang salah. Karena hanya aku yang
tidak memberitahu apa-apa. Sebenarnya aku mengatakan secara tersirat lewat
tulisanku. Mungkin kamu tidak pernah membacanya. Ya, aku tidak pernah
memberitahumu soal tulisan itu juga. Gila.
Aku
meletakkan pena yang sedari tadi kupegang. Lembaran kertas itu masih dingin.
Semilir angin pagi memelukku; meniupkan keinginan untuk kembali ke kasur dan
menikmati hari libur ini. Dari sekian banyak sisa-sisa jejakmu, tiada yang
benar-benar bisa dituliskan dengan baik. Hanya berupa dua paragraf yang bisa
saja nanti juga ikut terbakar menjadi abu.
Entahlah.
Tuhan, berikan aku satu pagi lagi.
(bab ini menggunakan “kamu” itu
sebuah hal yang disengaja, bukan karena melupakan POV)
0 comments:
Post a Comment