“Hei!
Apa yang kaulakukan?”
Arindya
setengah berlari ke arahku yang sedang melemparkan kerikil-kerikil dari pinggir
jalan ke arah turunan di sebelah kampus F. Aku bisa melihat kupluknya itu.
“Ngapain
kau sendirian di sini?”
“Buang
sisa kenangan.”
“Heh
...?”
“Nggak
semua kenangan yang kubakar malam itu jadi abu.”
Arindya
duduk di sebelahku. Meraih kerikil dari pinggir jalan dan melemparkannya ke
arah turunan. Mungkin kalau ada orang lain lewat sini, kami pasti dikira orang
gila. Untungnya, hari ini jalan bagian ini ditutup karena sedang ada perbaikan.
“Sini
kubantuin buang kenangannya,” Arindya berseloroh. “Jadi Iza sama siapa?”
“Jangan
menggodaku. Aku lihat kau bicara dengan Iza tadi pagi.”
Arindya
tersenyum pahit ke arahku. Aku benci membicarakan ini sebenarnya. Benar kata
orang, penyesalan selalu datang belakangan. Dan ungkapan “aku baik-baik saja”
cuman sebuah kebohongan terburuk yang pernah ada.
“Sudahlah.
Sedari awal aku yang menciptakan batas itu. Jadi, pradugaku memang benar. Aku
tidak pantas.”
Arindya
mengeluh. “Memang definisi pantas untukmu apa, sih?”
“Sederhana,”
tukasku, “aku kalah dalam segala bidang. Material. Aku membosankan. Aku aneh.”
“Itu,
kan, katamu,” balas Arindya. “Pernah tanya Iza nggak apa pendapatnya tentang
kamu?”
Aku
menggeleng. Mana berani aku melakukan itu. Arindya memang gila.
“Kalau
begitu jangan seenaknya menilai dirimu sendiri!”
Aku
terkesiap. Arindya tampak begitu kesal, terlihat dari wajahnya yang masam. Ya,
pastilah dia akan kesal kalau orang yang diajaknya bicara itu aku.
“Ya
...,”
“Sekarang
begini saja,” cetus gadis itu tegas. “Besok aku akan bicara dengan Iza soal
perasaan kau. Kalau bukan kau, harus seseorang lain yang melakukannya."
“Kamu
gila!”
Aku
bereaksi cepat terhadap perkataan Arindya. Keseriusan memantul di bola matanya.
Tidak mungkin mengatakan hal itu kepada Iza.
“Kalau
gitu kaulah yang harus melakukannya.”
“Tidak
...,” ujarku, “aku bahkan nggak bisa bicara dengan leluasa. Doi selalu bareng Iza ke mana pun ...
hei, jangan sela dulu!”
Arindya
sudah hendak mengatakan sesuatu sebelum aku mencegahnya. Kebiasannya
mengintervensi terkadang suka mencapai batas. Gadis itu selalu ingin apa yang
terpikirkannya bisa ditransformasikan segera.
“Aku
nggak bisa lihat langsung ke matanya dia, Arin. Setiap aku melakukan itu, aku
selalu melihat pantulan diriku yang hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.
Kepala Divisi di organisasiku, aktif di klub bisnis kampus, dan terlebih ...
semua orang mengincar dia. Kesempatan apa yang tersisa untukku?”
Arindya
menghela napas panjang. “Jadi kau menilai pantas tidak pantas dari sesuatu yang
diraih seseorang atau ketidakmampuanmu mengimbangi pola hidupnya? Lucu sekali,
Qy.”
“Lalu
apa?” balasku cepat. “Setelah berpikir lama, di balik jeruji perasaan ini aku
sadar bahwa aku tidak bisa mengimbangi kehidupannya. Mengetahui itu saja
sebenarnya sudah cukup sebagai alasanku untuk mundur. Cuman, ada yang aneh
dengan perasaan ini. Ia nggak mau
mundur. Entahlah ....”
Arindya
bangkit dan menepuk-nepuk celana bagian belakang yang tadi menghimpit tanah
ketika duduk. Dia menatapku dengan tajam sejenak sebelum akhirnya tersenyum.
“Kau
hidup dengan asumsimu yang terkadang membutakan, salah satunya kepada perasaan.
Nggak semua hal di dunia ini butuh alasan. Bila benar kaupunya perasaan kepada
Iza, pernah sadar nggak kenapa bisa hal itu terjadi?”
Aku
terperangah mendengar penjelasan itu. Perkataan Arindya berhasil menembus ruang
pikiranku seketika dan kemudian berputar dengan lembut di dalamnya. Bagaimana
bila Arindya benar bahwa ketidakpercayaan diriku selama ini menciptakan
asumsi-asumsi untuk menjauhkanku dari perasaan ini? Memikirkannya saja sudah
membuatku sesak.
“Ingat
satu hal, Ariqy. Jangan tenggelam dalam ketakutan yang berselubung alasan.”
0 comments:
Post a Comment