Ada yang berbeda dengan perjalanan kali ini. Sesaat, setelah kamu tetiba hadir di tengah perjalanan tanpa arahku; Sempat kuberpikir kelak kita bisa memiliki takdir yang sama. Sesaat, aku percaya bahwa tidak selamanya langkah ini hilang arah.
Perasaanmu menjadi caraku menemukan jalan pulang kembali.
Namun, segalanya hanya mewujud tanya; perihal keyakinanku yang terus berguguran sedangkan kamu hanya memungutinya untuk di suatu hari memberikannya padaku lagi.
Jangan lakukan itu. Kamu bukanlah manifestasi dari keenggananku untuk berpisah jalan dengan seorang perempuan yang telah mencuri muara perjalanan ini. Kamu cukup memberitahuku di mana tempatmu seharusnya berada lalu aku yang kelak berkunjung ke sana.
Namun, perasaan ini masih saja bergeming. Kamu menawari bahagia yang begitu lama tersimpan di balik kebodohanku dalam mencintai perempuan itu. Sesuatu yang menurutmu hanyalah kesiasiaan—sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa mencintai sesiapa pun bila terus begini.
Entahlah. Keberadaanmu menjelma rasa hangat di sekujur tubuh, menyapu rasa dingin dari kesendirian yang telah beku begitu lama—begitu buruknya. Kamu atau perempuan itu, sebuah pilihan yang tak bisa langsung diputuskan selaiknya melupakan lalu mencintai lagi dengan singkat.
Aku terlalu takut, aku mencintaimu tidak sebesar seperti mencintai perempuan itu.
Lalu, ketakutan itu menggerogoti relung dada—menciptakan enggan demi enggan untuk melangkah lebih jauh lagi. Menyukai untuk bertahan di sudut kehilangan, sedangkan tanganmu telah datang untuk menyambut kepulanganku.
Apakah benar, bersamamu aku akan benar-benar pulang?
Satu pertanyaan yang lahir dari ketakutan paling dalam. Satu pertanyaan yang membuat kata-kata itu tenggelam dalam lautan kesunyian sehingga aku tidak tahu harus menjawabnya seperti apa. Di saat yang sama, kau pun juga bertanya perihal apakah aku ingin benar-benar merasa pulang?
Selalu ada jalan untuk itu, katamu. Dan, ya, walau sekilas, jalan itu nyata adanya. Hanya saja, aku masih enggan beranjak dari semesta gelap ini dan membiarkan segala kenang basah oleh air mata.
Sesuatu yang bahkan perempuan itu tidak pernah mengetahuinya—kamu mengetahuinya begitu jelas dari segala aksaraku yang telah lahir ke dalam buku. Pada akhirnya, aku memilih untuk tetap jatuh dalam kepergianku dan membiarkanmu merasai luka yang sama. Maaf, bila membuatmu merasakan sesuatu yang tidak seharusnya.
Ini salahku. Aku tidak tahu bagaimana menjawabmu. Dan, ya, aku telah membuat pilihan itu untuk detik ini. Mungkin, kelak ketika waktu berkelindan begitu lama: bisa saja segalanya akan berbeda. Namun sekali lagi, aku tidak mau menerka ataupun menyimpan harap.
Aku tidak mau melakukan apa pun lagi.
Jakarta,
19 Februari 2019
Aku Tidak Ingin Menerka Arah Perjalanan Ini Lebih Jauh Lagi
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna.
Related Articles
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment