Di sini, aku meredam segala sepi yang meranggas dada seorang diri. Pada sisa-sisa jejak perasaan tentangmu. Di kala malam tiba, kenangan itu kubawa ke puncak dari gunung, membakarnya ke dalam unggun. Beterbangan; kerlap-kerlip di udara.
Biarlah abu kenangan itu terempas angin ke suatu tempat di mana kita tidak akan pernah membicarakannya lagi. Sendiri-sendiri. Membiarkannya beku di suatu tempat entah di mana.
Aku tidak peduli. Menyebut namamu dan mengingat segala tentang kita hanya menyesakkan dada saja.
Bukan hal mudah, menerjemahkan luka yang telah menoreh begitu lama. Luka yang kusangsikan keberadaannya; begitu percaya, bahwa waktu akan mempersatukan kita lagi. Luka itu begitu lama basah, tanpa ada obat yang mampu meredakan walau sejenak.
Hujan tidak lagi mampu menjadi alasan lain untuk melupakanmu. Tidak lagi menjadi teman bicara saat ini tempatku bertanya seperti apa kebahagiaanmu di kehidupan yang sekarang. Barangkali, bukan kita yang tidak mampu menghapus masa silam;
Aku saja yang tidak bisa berhenti mencintaimu.
Aku sudah melakukannya begitu lama, sampai lupa caranya untuk tidak melakukannya lagi. Sampai, perjalanan menuju puncak gunung menjadi pilihan. Barangkali, dengan rebah di atas rerumputan dan menatap lelangit menjadi cara lain untuk menemukan jejalanan lain yang tanpamu di dalamnya.
Kini, biarlah dingin memelukku sesukanya di hadapan hangat api kenanganmu. Membakar kesendirian ini untuk sementara.
0 comments:
Post a Comment