Darimu,
aku belajar bagaimana menjalani kesendirian. Berteman baik dengan kesepian,
sesekali bercerita tentang hari yang dilewati atau senja yang ditunggui.
Darimu, aku belajar bagaimana rasanya duduk sendirian di bangku taman sesorean,
menatapi keramaian orang-orang. Ibu yang mendorong jagoan kecilnya di kereta
bayi, anak-anak kecil berlarian menyeruak gugur daun yang mulai menguning, dan pasangan
kekasih yang bergandengan tangan.
Segala
yang pernah kulakukan bersamamu, tampak di hadapan pelupuk mataku. Seperti
kaset yang diputar berulang kali. Sudah bulan keenam dan aku masih saja
belajar. Mungkin aku seseorang yang bodoh. Meskipun badai dengan lantang
menghentak-hentak, aku masih saja berdiri di sini. Seolah menghadapinya adalah
takdir yang harus dilewati.
Entahlah,
aku sudah tidak tahu apa lagi. Semua janjiku taklangsai. Runtuh seketika.
Rasanya kata-kata yang pernah kuucap untukmu rantas begitu saja. Menguap
bersama udara. Aku lelaki yang selalu menepati janji. Tapi untuk yang satu itu
aku takbisa melakukannya:
Menggenggam tanganmu di hari ulang
tahun pernikahan kita yang ketujuh. Membawamu ke tempat yang kujanjikan.
Tujuh
adalah angka kesukaan kita berdua. Atas alasan itu, kita setuju untuk
dipersatukan. Takperlu menjadi kelu atau bisu. Kita cukup menjadi sederhana
untuk saling mencintai. Mengerti seperti apa rasanya saling memiliki. Dan kamu
mengajarkanku semua itu. Mengubah sudut pandangku yang menganggap bahwa dunia
ini bergerak dengan kaku. Orang-orang terbuang sepertiku, yang takbisa berbuat
apa pun untuk keberlangsungan hidup ini, hanya bisa meringkuk di antara malam
dan sudut kehidupan yang gelap dan pengap.
Darimu,
aku belajar bahwa hidup ini bukan sekadar sadar takbisa berbuat apa-apa. Siapa
pun, termasuk aku, punya arti. Punya alasan mengapa dilahirkan ke bumi ini.
Bahwa Ibu takkan sia-sia melahirkanku dari rahim bahagia yang dia damba selama
ini. Aku saja yang belum paham bagaimana kehidupan ini berjalan, ucapmu dulu.
Aku
mencoba percaya! Ya, aku mencobanya! Darimu aku belajar untuk percaya. Bahwa
aku adalah sesuatu.
Ya, sesuatu untuknya. Hingga dia takbisa kehilanganku.
Ya,
aku pun takbisa kehilangannya. Dia yang mengulurkan tangan saat aku terjatuh
dalam jurang sepi. Dalam neraka kesendirian yang menusuk jantungku bertubi-tubi
tanpa kenal waktu. Hanya dia yang mengerti seperti apa rasanya hidup sendiri,
kehilangan orangtua saat masih kecil, dan melewati hari di panti.
Kamulah yang
mengajarkanku bagaimana mencapai batas kesunyian.
Tapi
hebatnya, kamulah yang membuatku belajar bagaimana menghadapi kesendirianku
lagi.
Aku
pernah berjanji, bahwa angka tujuh akan menjadi angka spesial untuk hidup kita.
Maka, di hari ulang tahun pernikahan yang ketujuh, aku berjanji membawamu ke
suatu tempat yang akan membuat pipimu memerah dan berdecak kagum.
Aku
ingin membawamu ke sebuah puncak gunung, di mana kamu bisa melihat lautan langit
yang tak berujung. Aku ingin membawamu menyelami kesunyian yang resap dan
dalam. Aku ingin mengajakmu rebah di atas rerumputan dan menatapi langit. Jika
kamu takut atau tak kuat mendaki, akan kubawa kamu ke lepas pantai. Mendirikan
tenda di atas pasir, lalu kala malam tiba, kamu akan bisa menikmati senyapnya
suasana dan lautan langit. Ditemani oleh alunan deburan ombak.
Selama
ini kamu selalu memintaku untuk mencintaimu dengan sederhana, dengan rindu yang
menggelegak dan bergemuruh di dalam dada, dengan kata yang takbisa diberi oleh
hujan di matamu. Kamu sebenarnya takperlu memintanya. Karena aku akan selalu
mencintaimu. Dalam-dalam. Hingga akhir waktu.
Dan
kini, darimu aku belajar hal lain. Aku belajar memahami kehidupan lebih dalam
lagi. Perihal melepaskan. Perihal kehilangan. Perihal neraka kehidupan yang
lama kulupakan. Kepergianmu enam bulan lalu, di hari ulang tahun ketujuh kita,
setelah sebuah kecelakaan yang merenggutmu—tidak denganku, membuatku selalu
memaki diri sendiri setiap hari. Teriakanmu saat tetiba kemudiku lepas kendali
terus menggema di setiap tidurku. Harusnya kutahu, dalam kondisi selelah itu
aku tak seharusnya memaksakan untuk menyetir.
Tuhan,
mengapa bukan aku saja yang Kauambila? Aku rela mati untuknya. Aku rela
berkorban agar dia baik-baik saja.
Tapi,
bagaimana perasaannya jika itu benar-benar terjadi padaku? Dan pertanyaan itu
muncul setelah jawabannya justru kudapatkan. Tepat, di hari kepergianmu.
Dan
inilah perputaran hidup. Aku sendiri. Lalu bahagia denganmu. Lalu sendiri lagi.
Akan selalu begitu sampai mati. Sampai aku sadar bahwa aku memang tak berarti
apa-apa di hidup ini.
Entahlah,
aku hanya ingin menikmati duduk di bangku taman ini sekali lagi. Sebelum
memutuskan, bertahan atau ikut pergi.
SELESAI
0 comments:
Post a Comment