Kesiur
angin berkelindan sesorean ini. Taman penuh guguran daun, bangku kayu rapuh
tempatku duduk menatap kekosongan di hadapan. Dulu, taman ini begitu ramai.
Riuh oleh tawamu yang renyah dan simpul senyum indah selepasnya. Aku bahagia.
Kita bahagia. Menghabiskan senja membicarakan buku-buku yang sedang kita baca
atau selesai diulas. Kisah kita seindah dan sesederhana itu.
Tapi itu dulu.
Sebelum
daun-daun gesit berguguran, meninggalkanku sendirian. Kini semua terasa senyap.
Kepulan asap yang merayap di dinding-dinding kenangan tentang kita. Seperti
deru mobil yang cepat di jejalanan kosong. Berita kepergianmu sampai ke daun
jendelaku di waktu yang salah. Berita itu sampai di saat aku benar-benar
merindukanmu.
Setengah
tahun kepergianmu yang tanpa kabar, tanpa muasal, entah apa salahku kamu pergi
begitu saja. Seingatku, enam bulan lalu, adalah saat orang dari masa laluku
kembali dan kamu pikir aku mempertimbangkannya. Kamu salah. Yang salah itu aku.
Apakah
karena itu? Apakah kamu berubah menjadi ragu?
Enam
bulan kuhabiskan untuk tenggelam dalam berbagai pertanyaan. Tenggelam dalam
perasaan. Masa laluku tak benar-benar kembali. Ia hanya singgah sementara lalu
pergi lagi. Namun, aku yang kehilanganmu untuk selamanya. Darimu aku belajar
bahwa cinta takbisa dibagi. Karenanya mengutuhkan hati, tak sepatutnya aku
mencari lagi. Dan ya, kamu benar. Aku rindu kamu.
Sampai
rasanya tubuhku menggigil tanpa demam, malamku semakin malam, pun dengan pagi,
siang, dan sore rasanya tak ada bedanya lagi. Duniaku kian dingin tanpa
kehadiranmu. Hingga tadi pagi, sampailah sebuah berita diantarkan burung
merpati melalui sepucuk surat yang terikat di kakinya. Surat itu datangnya dari
langit. Memberitahuku perihal dirimu yang kembali pergi.
Kali
ini berbeda. Kamu pergi untuk selamanya.
Aku
berderak patah.
Mengapa
kamu tega melakukannya padaku? Padahal ratusan harap kulangitkan dalam doa
untuk kepulanganmu. Aku rindu sayu matamu yang teduh, tipis bibir merahmu, dan
indah senyummu itu. Aku rindu segala yang ada padamu. Bangku taman ini rasanya
kian dingin tanpa kamu mendudukinya.
Taman
ini kini sepi. Gugur dedaunan semakin penuh. Mengelilingiku yang semakin jatuh
dan rapuh. Sesorean ini aku menunggui senja sendirian. Membawa buku karanganku
yang ditulisi enam bulan terakhir, sejak kepergianmu. Dalam harap, buku ini
selesai dan sampai di hari kepulanganmu. Nyatanya, buku ini selesai dan takkan
pernah terbaca olehmu—seseorang yang kusebut namanya dalam buku. Perihal kisah
perjalanan dan penyesalan.
Dan
hari ini, aku ingin memaki diri sendiri berkali-kali. Begitu bodoh dengan
mudahnya melepas seseorang yang dicintai. Begitu bodoh dengan cepatnya
membiarkan kebodohan itu dilakukan tanpa bersegera menyesali. Ya, yang namanya
penyesalan selalu datangnya belakangan. Bedanya, sedalam apa pun aku menyesal,
kamu takkan pernah datang. Kamu takkan pernah pulang.
Karena,
kamu adalah ketiadaan yang paling kuingini saat ini.
0 comments:
Post a Comment