Berdiam
diri adalah caraku untuk terus merawat kenangan tentangmu. Berdiri di tengah
koridor kosong yang pernah ditinggalkan oleh jejak-jejakmu. Hari ini, aku
kembali berusaha memulai kembali perjalanan. Hujan sudah kembali. Hujan
menasihatiku banyak hal: terutama perihal dua orang yang sebelumnya kutunggui
selalu dan kemudian semua harap itu musnah bersama udara.
Ia
bilang buat apa aku memaksa kepala mencari kata-kata hanya untuk menuliskan
surat terbuka kepada mereka. Ia sudah menunjukkanku seseorang. Seseorang yang
kutemukan di jalan yang kini kutapaki. Dan di koridor inilah, aku berusaha
mencari tahu ke mana saja kamu melangkah.
Pertemuan
kita yang lucu, di antara ramai lalu-lalang, sedang gerimis saat itu, tiba-tiba
tatapanku terkunci padamu yang asyik berbincang dengan temanmu—pikirku begitu.
Seperti dulu aku bertanya, bagaimana bisa tatapanku begitu mudah teralihkan dan
bahkan terkunci padamu begitu saja?
Kupikir
itu hanya pertemuan singkat dan seperti yang sudah-sudah, takpernah berakhir
baik untukku. Tapi, sejak saat itu aku mulai mencari ke mana kakimu itu pernah
bergerak. Sampai suatu waktu Hujan menuntunku pada suatu tempat yang jarang
sekali kudatangi. Namun entah bagaimana, tubuhku seperti bekerja sendiri.
Dan
ternyata, kutemukan kamu di sana! Duduk sendirian, menatap layar laptopmu
dengan pandangan serius. Demi desau-desau angin yang dingin berembus malam ini,
aku kehilangan kata-kata. Tubuhku seperti mati rasa dan beku mematung di sana.
Setelah sepersekian detik, aku berhasil mengambil kontrol tubuhku dan kemudian
bersegera mencari sudut untuk menulis. Menemukan kata-kata yang hilang itu.
Dan
kini, di koridor ini aku menemukan kembali langkah-langkah itu. Memungut
ceceran rindu yang menempatkanku pada banyak pertanyaan. Sejauh mana aku bisa bergerak
menujumu? Sejauh mana aku bisa pantas untukmu? Atau seperti yang sudah-sudah,
aku memasang jarak yang tak disangka-sangka olehmu dan kemudian keluar dari
barisan orang-orang yang (mungkin) sedang menantimu?
Entahlah.
Tetiap kata-kata yang pernah lahir di kepalaku pelan-pelan berusaha menyusun
dirinya sendiri untuk kemudian mewujud seseorang. Dia yang juga memandangku
sebagai sebuah perasaan yang sederhana namun menguatkan. Dia yang kemudian bisa
sama-sama menikmati hujan dan senja dari balik jendela.
Di
sepertiga malam, doaku begitu sederhana: seseorang itu kamu.
0 comments:
Post a Comment