Di sudut malam yang senyap, aku
kerap bersenandung. Tentang luka yang menganga. Tentang hati yang patah.
Tentang kenangan yang pecah. Pun, tentang rasa yang perlahan musnah.
Semuanya berputar seperti siklus.
Lirik-lirik liris yang kulahirkan, lagu-lagu melankolis yang kusimpan di balik
angin yang bertiup ke peraduanmu. Aku penasaran, seperti apa rupa perasaanmu?
Apa dia bisa bicara? Bisa melihat?
Apa dia pernah melihatku?
Perasaan sungguh teka-teki yang
takbisa kupecahkan. Ia bisa terluka; patah; dan musnah. Sebaliknya, dia bisa
mengingat dan melupa. Tentang kisah-kisah heroik, kisah-kisah yang terbakar
bersama waktu; tentang aku yang mencintaimu dan kamu tidak menyadarinya.
Benarkah itu? Aku bingung. Aku mau
ketemu kamu. Bersenandung bersama di sudut malam yang senyap.
—AR—
Aku
melihat potongan prosa itu melekat di mading di koridor FEMA. Koridor yang
menghubungkan kantin Sapta—tempat anak jurusanku sering menghabiskan jam makan
siangnya—dan Fakultas Pertanian yang bersebelahan dengan jalan dalam kampus.
Seminggu
yang lalu aku mengirimkan sepotong prosa ini ke salah satu anggota redaksinya
yang merupakan kenalanku. Aku sadar bahwa Iza kerap berhenti sejenak di sini
setiap Selasa sore hanya untuk membaca puisi-puisi. Jadi, mading ini bisa
menjadi pembawa pesan yang menarik, bukan?
Koridor
sore ini sedang sepi. Tidak banyak lalu lalang mahasiswa di sini. Aku memeriksa
ponsel. Pukul empat. Arindya mengirimiku pesan WhatsApp kalau dia ingin ditemani ke Botani Square untuk membeli
beberapa barang.
Aku
baru saja selesai menuliskan kata “Ya, baiklah.” ketika gendang telingaku
menangkap suara yang membuat jantungku berdebar cukup kencang untuk sementara,
“Prosanya
bagus.”
Aku
menoleh dan mendapati Iza sedang membaca puisi di mading itu. Aku sungguh
terkesiap. Untung mampu mengendalikan diri. Dia membacanya dengan seksama.
“AR
... aku seperti pernah membaca inisial itu di suatu tempat ....” Dia memandangi
lamat-lamat kertas puisi itu dan membetulkan posisi kacamatanya. Mata bulatnya
memeriksa inisial itu dengan ekspresi wajah yang mencoba untuk mengingat
sesuatu.
“Kamu
suka prosa dan puisi?” tanyanya lagi, menarik kacamatanya, menggosokkannya
dengan bagian bawah baju kemejanya, dan memakaikannya lagi. Aku melihat warna
kemeja birunya senada denganku.
“Ya
... kurang lebih.”
Dadaku
berdegup kencang. Momen seperti ini takpernah diduga. Dan takterelakkan. Aku
takpernah berada sedekat ini dengannya. Bersebelahan.
“Aku
suka puisi!” ujarnya tersenyum lebar, “Yah, walau nggak ngerti sastra banget,
aku selalu suka permainan kata yang mampu menyiratkan makna. Itu alasan kenapa
aku selalu berhenti di sini setiap selasa di jam yang sama.”
Dia
menunjukkan arlojinya padaku—pada jarum jam di angka 4. Aku mengangguk;
mengiakan. Masih dengan debar yang menyesakkan dada. Koridor ini seakan paham
dengan situasiku. Suasananya menjadi sepi—tiada yang melintas. Pun dari anak
tangga di belakang mading yang menjuntai dari lantai 2 Fakultas I.
“Apa
yang membuatmu suka puisi?”
Aku
sedikit tergugup mendengar pertanyaan itu. Apalagi terlontar dari seseorang
yang membuatku ingin menulis ribuan puisi.
“Emm
... puisi memberiku harapan. Aku mencintai seseorang yang takpernah bisa
kumiliki. Melalui puisi, aku ... seakan bisa menciptakan semestaku sendiri.
Menciptakan realita di mana, bisa saja aku bersama dengan—“
Wajah
Iza yang berubah menjadi penasaran membuatku berhenti berkata lagi. Untuk
perihal ini, aku tidak bisa menahan diri. Satu cerita lagi dan Iza akan
mengetahui segalanya. Matanya berpadu denganku. Aku bisa melihat kedua alis
tipisnya yang seakan hampir menyatu, bibirnya yang serupa apel segar; aku bisa
melihat cahaya itu lagi.
“Dengan
siapa?”
Ini dia.
Satu langkahku yang begitu salah. Situasi ini membuatku semakin gugup.
“Ada
deh, rahasia.” Aku berpura-pura terkekeh. Iza menatapku lamat-lamat.
“Huu
... sok serius banget,” seru Iza pelan, membetulkan posisi kacamatanya lagi.
“Ya,
masa aku bocorin? Bahaya, kan, kalau jadi berita heboh di kelas?”
Aku
berusaha mengendalikan diriku pelan-pelan. Tampak Iza sudah mulai mengurangi
rasa penasarannya. Perhatian gadis itu teralih oleh dering ponselnya di dalam
tas. Dia merogoh isinya dan mengeluarkan ponsel itu. Iza bicara dengan cepat
dan kemudian menutup panggilan itu.
“Aku
harus pergi. Anisa memintaku untuk ke perpustakaan, menyelesaikan tugas
Matematika Ekonomi yang kelompok itu. Kamu sudah selesai?”
“Udah,
dong. Firman dan Alfan selalu menuntuku mengerjakan tugas di awal waktu.”
Iza
hanya menjawab “oh” diikuti dengan reaksi yang seakan menyadari sesuatu.
Kemudian dia melambaikan tangannya. Berpisah jalan.
“Sampai
ketemu di kelas besok! Aku akan bawa buku puisi kesukaanku. Aku mau menunjukkan
sesuatu padamu. Boleh?”
Aku
tersenyum lebar. “Pake banget. Aku akan bawa punyaku juga.”
Iza
bergegas dan kini hanya punggungnya saja yang mampu ditangkap oleh mataku. Yang
perlahan menghilang di balik tangga. Semua butuh waktu. Meskipun aku ragu apa
itu segera atau tidak selamanya. Tetapi sebagian dari diriku saat ini juga
berkata bahwa sepertinya aku punya cara untuk membuat Iza menyadari perasaanku.
0 comments:
Post a Comment