Arindya
sudah mewanti-wanti untuk membawa jaket di Minggu sore ini. Sedari pagi tadi
awan-awan sudah mulai menggulung kelabu. Biasanya kalau sudah seperti itu,
sorenya akan hujan. Hanya saja, Arindya pasti lupa kalau aku tidak terlalu
senang mengenakan jaket.
Setelah
memberikan selembar lima ribuan kepada supir angkot, aku berdiri di pinggir
Jalan Padjajaran, di depan Kampus Pertanian yang khusus mengajar studi bisnis
untuk mahasiswa Magister. Gerimis sudah mulai berjatuhan.
Aku
menyeberang jalan ke gedung Telkom dengan setengah berlari, lalu menunggui
lampu merah untuk menyeberang ke sisi kanan jalan. Mendatangi tempat kuliner
baru di Bogor yang merupakan cabang dari Jakarta. Nyaman dan anak muda sekali.
Itu pendapatku ketika memasukinya.
Aku
mencari di antara keramaian, lalu berhenti saat seseorang melambaikan tangannya
ke arahku, takjauh dari tempatku berdiri.
“Halo,
Ariqy. Maaf memintamu datang di hari libur seperti ini.”
Seorang
lelaki muda, tampilannya cukup modis, dengan kemeja kasual dan celana jeans
hitam, mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangan lelaki itu dan kemudian duduk
di hadapannya. Dia mengenalkan dirinya sebagai Helvin, editor di sebuah
penerbit toko buku.
Dua
bulan lalu, aku mengirimkan sebuah naskah berisi kumpulan prosa ke penerbit itu.
Anggap saja penerbit Y. Helvin menghubungiku tiga hari yang lalu dan mengatakan
di telepon kalau dia ingin bertemu. Karena kebetulan rumah orangtuanya di
Bogor, jadi kami janji bertemu di sini.
“Maaf
sedikit telat,” kataku sembari membuka jaket dan menggantungnya di badan kursi.
“Dramaga dan Jalan Baru selalu menjadi kegilaan di akhir pekan. Macetnya ....”
“Santai,”
kata Helvin tertawa pelan. Dia sibuk memilih menu. “Ini juga aku baru mau
pesan.”
Aku
tersenyum malu-malu. Selalu segan jika membuat orang lain menunggu.
“Jadi,
kamu sudah berapa lama menulis?” tanya Helvin, setelah pelayan beranjak pergi
membawa catatan pesanan kami ke kasir yang jaraknya takjauh dari meja ini.
Pajangan-pajangan
berupa tulisan dengan gaya mural, kursi-meja yang terbuat dari kayu pernis, lalu
bentuknya yang mengingatkanku pada disain flat, menjadikan tempat ini sungguh
nyaman buat nongkrong lama. Semuanya menarik perhatianku.
“Tiga
tahun, Mas.”
“Wah,
belum lama juga, ya.” Helvin memandangiku sembari menganggukkan kepalanya beberapa
kali. Aku tahu basa-basi seperti itu. Aku kerap melakukannya juga.
“Jadi
gini, aku sudah baca naskahmu, ya sekitar 45 persennya, lah. Sejauh ini aku
suka. Tulisan kamu ringan dan ngena. Kalau melihat tren bacaan anak muda
sekarang, gaya melankolis milikmu akan cocok, lah. Tetapi ....”
“Tetapi,
kenapa, Mas?” tanyaku sedikit gugup, karena ada penekanan di kata terakhir
Helvin. Seakan ada keraguan di sana.
Alasanku
menulis sederhana: untuk mengarsipkan kenangan. Untuk kali ini, aku ingin
tulisanku mampu lahir sebagai buku. Bukan karena aku memiliki cita-cita jadi
penulis; ada rencana lain—cukup besar—yang kusiapkan untuk seseorang. Buku itu
menjadi kuncinya.
“Aku
ingin kamu jujur satu hal padaku: apakah semua tulisan itu memang kamu buat
fiktif atau memang ada tujuannya untuk seseorang?”
Dia
mampu menebaknya. Hebat juga. “Untuk seseorang, Mas.”
“I see.”
Helvin
menegakkan punggungnya. Mata mungilnya mulai melemparkan pandangan ke sekitar.
Dia menghela napas panjang. Lima belas menit kemudian, pesanan kami datang.
Tentu saja, roti bakar kesukaanku dan air mineral. Helvin memesan Milo
Dinosaurus dan sepiring nasi goreng spesial.
“Aku
pikir, di beberapa tulisanmu di naskah itu ada yang terkesan jelas sekali
merujuk seseorang. Kamu punya potensial. Kupikir, kamu bisa merevisinya dan
membuat tulisan itu jauh lebih bernyawa.”
“Maksudnya
bernyawa?”
“Well, gini. Tulisan yang baik adalah
saat orang membacanya dan merasa bagian dari cerita itu. Seakan penulisnya
pernah menjadi teman curhat mereka sehingga tulisan itu begitu dekat dengan
pembacanya. Banyak tulisanmu yang seperti itu. Beberapa di antaranya tidak. Aku
ingin naskahmu ini utuh. Ketika kamu bisa membuat yang beberapa itu tidak
sekadar curhat, naskahmu akan terasa begitu hidup.”
Aku
hampir tersedak. Baru sekali ini ada orang selain Arindya yang mengatakan
tulisan itu bagus lebih dari sekali. Aku
buru-buru meminum air mineral. Wajah Helvin tampak keheranan melihatku seperti
itu.
“Ya
...,” kataku sedikit tergagap, mencoba meredam sedakan itu, “terima kasih ...
aku siap revisi, kok.”
Helvin
tergelak mendengarku bicara gelagapan seperti itu. Hujan di luar sana sudah
mulai menderas. Setelah menyelesaikan
setengah piring nasi gorengnya, dia tiba-tiba menanyaiku sesuatu yang membuatku
hampir tersedak lagi.
“So, how long you’ve been together with her?”
Pertanyaan
itu ditambah dengan alunan lagu Isyana yang terputar di tempat makan ini
bercampur dan kemudian menembus gendang telingaku dengan cepat. Tanpa hambatan.
“Nggak
... aku nggak pacaran sama dia.”
Helvin
mengangkat sebelah alisnya. “Kalau bukan, then
what?”
“Rumit.
Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Aku berharap naskah itu yang akan
menjawab pertanyaan Mas Helvin.”
Helvin
mengulum bibirnya dan mengangguk. Mengapa setiap pembahasan yang berkaitan
perasaan harus selalu ditanyakan dengan soal hubungan?
“Menarik.
Menarik.” Mas Helvin bergumam.
Pembicaraan
kami pun berlanjut soal teknis revisi dan berapa lama prosesnya sebelum nanti
dilanjutkan menjadi buku cetak. Mas Helvin berulang kali menekankan bahwa
tulisanku sudah sangat berpotensi karena aksara yang kutulis itu seakan
memiliki “ikatan” dengan siapa pun yang membacanya. Ya, bagaimana tidak. Apa
yang kutuliskan memang sesuatu yang nyata.
Jadi,
di sanalah aku memusatkan konsentrasi dalam menulis. Jika lancar naskah itu
bisa terbit dua bulan kemudian. Mendengar itu aku senang dan juga lega.
Seusai
percakapan itu, aku tak berlama-lama di tempat ini. Karena malam nanti aku ada
janji mengerjakan esai Ekonomi Internasional dengan Arindya, dan jalan menuju
Dramaga selalu macet tingkat akut selepas Maghrib, aku memesan transportasi
daring mobil setelah pembicaraan teknis selesai.
Hujan
kian menderas. Seperti segara rasaku yang takberhenti memanggil namamu.
Waduh... Makin ke sini kok rasa2nya ini seolah non fiksi ._.
ReplyDeleteMasa, sih?
Delete