Semua
yang telah kulalui gugur satu-satu. Iza, seorang gadis yang datangnya
tiba-tiba, dan dengan cepat mampu menyempurnakan semesta yang sedang kubangun
tanpa nama. Semesta itu pernah hampir runtuh tujuh tahun lamanya sebelum gadis
pemilik senyuman semanis gula itu membuatku merasakan sesuatu yang telah lama
pergi dari dadaku.
“Aku
tidak pernah benar-benar berani mendekatinya. Kau tahu, seperti mengunjungi
tepian jurang lalu kau adalah manusia yang takut ketinggian yang lantas
melongok ke dasar jurang. Seperti itu kira-kira perasaanku.”
“Kau
bercanda!” seloroh Arindya, menikmati semangkuk bakso kantin Sapta. Hari ini
dia memakai kupluk untuk menutupi rambut gelombangnya yang tampak mirip dengan
kerumunan mi berwarna cokelat.
“Sudah
dua tahun kau menyukai Iza, tapi tak sekali pun kau berani mengatakan
perasaanmu.”
Aku
yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk soto ayam tanpa menyantapnya, mulai
kehilangan nafsu makan. Arindya memandangi mataku penuh arti. Seakan menuntutku
untuk mengklarifikasinya. Bila sudah begini, Arindya pasti menang.
“Aku
...,” ujarku tergugup, seperti ada yang mencekat tenggorokanku, “takpernah
merasa pantas .... Aku berhak merasa seperti itu karena aku tahu siapa saja
yang mendekati gadis itu.”
“Siapa?”
“Dua
orang sahabatku.”
Arindya
mengernyitkan dahinya. “Perlu kusebutkan nama?”
Aku
menggeleng. “Sudah. Nikmati saja baksomu itu.”
Arindya
tertawa cukup keras. Beberapa orang yang sedang makan dekat meja kami mengintip
ke arah Arindya dengan tatapan aneh. Sisanya tidak peduli. Jam sepuluh pagi
seperti ini, kantin belum terlalu ramai. Hanya beberapa konter makanan saja
yang dipenuhi pembeli: bakso, soto, dan nasi uduk.
“Lantas,
kalau sahabatmu juga turut maju, kamu berhenti. Gitu?”
Aku
menggelengkan kepala sekali lagi. Entah dosa apa yang membuatku dan Arindya
sama-sama mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dan celana jeans hitam.
Mungkin, setan membisikkan telinga kami dengan perintah yang sama.
“Entah.
Aku hanya tahu bahwa sudah seharusnya aku berhenti.”
“Hmm
...,” Arindya berusaha menyelesaikan sedotan es teh manisnya, “Ahh ... hei,
bangkit dong! Dalam urusan cinta, kita harus mengerti bahwa semuanya berhak
untuk memperjuangkan.”
“Halah,
sok jadi Mario teguh, kau.”
“Ye,
aku serius! Aku pernah pacaran tiga kali. Aku tahu seperti apa rasanya
berbahagia dan kehilangan. Kaulupa, ya?”
Gurat
wajah Arindya yang mempertanyakanku membuatku tidak nyaman. Dengan malas aku
mulai menyendok nasi ke mulut, disusul dengan lilitan bihun dari mangkuk soto.
Sesapan kaldu ayam yang hangat membuatku tenang sejenak.
“Mengapa
kamu harus berhenti, Qy? Setidaknya kau punya alasan dong? Ariqy yang kukenal
selalu punya alasan untuk segala keputusannya.”
Arindya
untuk kesekian kalinya berseloroh. Kami punya satu jam kosong menuju kelas
berikutnya—Mikroekonomi. Gadis itu sudah menyelesaikan seporsi bakso favoritnya
itu. Dia menyeka bibir dengan tisu. Bibir yang berwarna pias dan tampak kering
seperti orang sariawan.
“Kau
tahu kenapa aku hanya punya sedikit teman, Rin.”
“Lalu?”
“Bagiku,
hubungan pertemanan itu bukan hal biasa. Sebaliknya, bagiku itu istimewa. Tidak
banyak orang yang mau mengacuhkanku. Mengajakku bicara di saat aku lebih
menyukai berdiam diri di pojokan kelas. Mereka, kau, yang membuka mataku bahwa
ada kehidupan yang bisa kulalui di sini.”
Arindya
mendengarkan dengan serius. Dia mensidekap tangannya di atas meja.
“Aku
lebih baik tidak mendapatkan Iza daripada harus menyerahkan hubungan pertemanan
ini. Mungkin aku memang egois. Mungkin aku memang bodoh.”
Arindya
menggeleng, “Mungkin ... kau takpernah menyadari bahwa di antara semuanya, Iza
akan beruntung mendapatkanmu.”
Aku
tersenyum getir mendengar perkataan Arindya itu. “Ya, mungkin.”
Terdengar
memotivasi atau memuji atau semacamnya, tetapi bagaimanapun juga aku sadar satu
hal: ada dinding yang diam-diam kuciptakan di antara perasaanku dan Iza. Gadis
penyuka warna merah muda itu takkan pernah tahu bahwa di antara orang-orang
yang berbaris menantinya, ada seseorang di luar barisan itu yang diam-diam
menautkan hatinya.
Iza
takkan pernah tahu. Meski ditelan waktu dan menghilang di gelap malam.
0 comments:
Post a Comment