Di
hadapan kehilangan, aku membakar semua kenangan masa silam menjadi abu. Di
tengah hening malam yang dingin, abu itu kerlap-kerlip di udara dan musnah
bersama waktu. Semua sudah selesai. Aku telah kalah oleh semua ketidakberanian
yang meranggas dada. Bersama detik yang kini bergerak menjauh, aku mengibarkan
bendera putih.
Iza
sudah memilih. Dan itu bukan aku.
“Lantas
kau menyerah?”
Arindya
menyibak rambutku yang ikal dan merapatkan jemarinya di rahangku, menariknya
menghadap ke arah wajah gadis itu. Kamarku terasa begitu dingin. Di malam yang
bahkan belum menembus sepertiga pertama malam. Dia duduk di bahu kasur. Di
sampingku.
“Iza
belum memastikan keputusannya. Mengapa kamu membuang semua penantianmu itu?”
Dengan
wajah datar, aku membuka mulut dengan malas kepada Arindya. Mata cokelat gadis
itu kini berkilat. Ada sedikit kemarahan memantul di bola matanya. Aku yang
menyerah, kenapa dia yang marah?
“Rin!
Hentikan, oke?” Aku berusaha melepaskan diri dari Arindya. “Iza sudah
mengatakannya. Dia tidak pernah memilih seseorang yang takpernah ada untuknya.”
“Kau
selalu ada, Qy ....”
“Aku
hanya bayangan, Rin!”
Napasku
mulai sedikit megap-megap. Lima tahun kuhabiskan hanya untuk memendam
perasaanku kepada Iza tanpa pengungkapan. Aku tahu sejauh mana batasku melangkah.
Aku sadar betul sampai sedalam apa aku bisa mengukir jejak di hidupnya.
Perempuan
mana yang mau memilih lelaki yang bahkan lebih suka menulisi perasaannya
sebagai kata-kata ketimbang mengatakannya? Perempuan mana yang mau memilih
lelaki yang lebih mencintainya ketidakberaniannya daripada membuat langkah
maju?
Dan
ketika kemarin, seseorang lainnya mendatangi gadis berkacamata itu, aku sadar
bahwa penantian itu pupus dibunuh oleh waktu. Aku telah kalah. Oleh penyesalan
yang takmau mengalah.
“Iza
tidak pernah mengetahuinya ...,” lirihku, “tidak dariku ....”
“Kalau
begitu kau pengecut.” Arindya meluncurkan kata sakti itu dari bibir tipisnya
yang kering itu. Cepat. Terasa deras. Dia menggenggam jemari kananku.
“Tahu
apa kau soal pengecut?”
“Buktinya
kau menunggu lima tahun dan kemudian kau membiarkannya pergi begitu saja.”
“Tahu
...,” selaku, “apa ... KAU SOAL PERASAANKU?!”
Aku
mengibaskan tanganku. Arindya menyondorkan jemarinya ke arahku, berusaha
menenangkan. Arindya mungkin tidak benar-benar ingin menyulut percakapan yang
panas seperti ini. Aku kenal baik Arindya. Lima tahun bersahabat membuatku
paham bagaimana sifatnya.
“Maaf,”
ujarnya. “Aku tak bermaksud membuatmu marah.”
Aku
memandangi dinding-dinding kamar yang bisu, seakan-akan mereka memandangiku balik
dan mengatakan semua baik-baik saja. Segalanya tampak berbeda.
“Tinggalkan
aku, Rin.”
“Hei,
Qy. Kau jangan tenggelam dalam kemenyerahan dirimu itu, hei.”
Aku
bangkit dan membukakan pintu. “Aku tahu siapa aku. Sekarang, tolong.”
Arindya
menghela napas panjang. Dia tampak ragu-ragu untuk bangun. Aku balik memandangi
matanya. Aku bisa membaca betapa Arindya menyesali perbuatannya.
“Kau
tahu di mana menemukanku, Qy.”
0 comments:
Post a Comment