Pertemuan
kemarin sudah cukup untuk menerbitkan senyumku lagi. Setelah sekian lama
terbakar menjadi abu, kini serpihan-serpihan yang kusimpan di dalam guci itu
terlahir kembali. Aku tak menduga kamu akan ada di sana, di tempat yang
kudatangi sore itu. Mungkin, beginilah takdir bekerja. Mengubah kemustahilan
menjadi sebuah pertemuan yang tak disangka-sangka.
Aku
sadar betul, berapa pun tulisan tentangmu takkan membuatmu menyadari
keberadaanku. Namun, di hari itu, entah mengapa aku merasa berbeda. Apakah kamu
juga merasa demikian? Kupikir waktu membenciku, dengan menghadirkanmu di saat
detik-detik yang kumiliki di tempat ini—di koridor yang sama denganmu—perlahan
usai. Tapi, ternyata tidak.
Seorang
temanku pernah berkisah bahwa terkadang tidak semua perasaan yang singgah di
dalam dada kita itu dilahirkan untuk dimiliki. Barangkali perasaan itu singgah
sementara untuk mengajarkan betapa berharganya memiliki; sehingga kepergian
bukan menjadi hal yang akan datang ke dalam hidup kita.
Tapi,
Puan, kamu tahu nggak? Justru perasaan yang singgah di dalam dadaku itu
mengajarkan arti kepergian. Dan dari kepergian itu aku belajar banyak mengenai
perasaan. Aku terlalu banyak menghitung langkah menjauh dari perasaan itu;
rindu yang gugur satu-satu.
Sore
itu, aku bahagia melihat kamu. Meskipun tidak benar-benar menatap teduh matamu,
melipat spasi seperti itu saja sudah membuatku hangat—meski tanpa bicara.
Mungkin kamu tidak merasakannya—aku berharap sebaliknya. Suatu hari nanti, aku
akan mempersiapkan sesuatu untuk kamu. Gadis berkacamata yang diamdiam hidup di
samudra mataku.
Suatu
hari, bila kamu izinkan, aku akan datang dari sudut pandang matamu yang buta,
mengatakan semua yang meranggas dadaku tanpa kamu mendengarnya. Untuk saat ini,
maaf bila aku hanya menjadi sebuah ketiadaan yang diamdiam mencuri rindu
darimu.
Untuk
saat ini, maaf bila aku hanya bisa mencintaimu diam-diam; dalam-dalam.
Kampus
Pertanian,
14
September 2017
0 comments:
Post a Comment