Selamat pagi, kenangan. Apa kabarmu hari ini? Sudah lama aku tidak singgah ke
tempatmu. Mengunjungi perpustakaan yang kini sudah kumuh dan berdebu. Ada
alasan tertentu mengapa aku taklagi berkunjung ke sana. Berpura-pura melupakan
bahwa aku pernah membangun perpustakaan di dalam pikiranku.
Tidak
akan pernah mudah bagi sesiapa pun untuk melupakan sesuatu yang pernah berharga
baginya. Begitu pun aku, kala memutuskan untuk mengunci ingatan tentang “kita”
di dalam perpustakaan itu. Menguncinya dari luar lalu takpernah lagi datang ke
sana. Aku taklagi ingin mengusik kembali segala yang pernah kita lalui di masa
silam.
Aku
sudah mengusaikan kata “kita” di antara aku dan kamu. Mengusaikan tiap rindu
yang mendera dan menciptakan bahagia semu saat kita sama-sama menikmati senja
selepas pulang kerja atau sembari menyantap kelapa di akhir pekan. Aku ingin
lupa bahwa aku pernah hadir di hidupmu.
Aku
pernah sekali mencintai kota di pinggir pantai itu. Mencintai kamu. Lalu, waktu
menjeda perasaan di antara kita. Detik memutuskan menjauh dan tak kembali.
Perlahan, jarak mencipta spasi hingga akhirnya kamu memilih pergi tanpa
mengatakan apa-apa.
Perasaan
itu bisa rapuh dan kuat. Saat aku (masih) mencintaimu, perasaan itu kokoh.
Namun, ketika wajahmu kian tenggelam dari samudra perasaanku, aku sadar bahwa
perasaan itu patah menjadi keping-keping. Gugur satu-satu. Dan kita menjadi
sepasang manusia tanpa arah; tanpa tujuan. Mungkin kamu sudah menemukan tujuan
barumu. Aku? Masih mencari-cari di mana kamu berada.
Saat
waktu dan jarak sudah memutuskan untuk melupakan apa yang telah mereka lakukan
kepada kita, aku melihatmu lagi. Ya, melihatmu bersama takdir yang lain. Dan
mengetahui itu, aku memutuskan untuk mengunci kenanganmu di perpustakaan itu
selamanya.
Entah
sampai kapan, sampai aku menemukan kembali.
0 comments:
Post a Comment