“Bila kau bertemu dengan kegelapan, sampaikan pesanku padanya. Aku takkan pernah lari dari takdir. Aku akan tetap di sini, menanti matahari tiba, atau kegelapan boleh menemuiku duluan.”
Mungkin,
Waktu adalah teman paling setia bagi manusia. Tak ada hambatan untuk saling
berbagi cerita kehidupan. Waktu tak akan lari ke mana-mana, ia akan selalu ada
untuk memberitahuku kapan hujan akan turun. Lantas, apa hubungan Waktu dan
hujan?
Karena
sejauh yang kutahu, hanya hujanlah yang menjadi saksi perjalananku. Hujan dan
Waktu adalah sahabat karib.
Permulaanku
dengan Waktu tidak seperti sekarang ini. Tidak mudah untuk menapakinya. Aku
harus jatuh-bangun, berdarah-darah, demi meraih uluran tangan sang Waktu yang
tak sabar menungguku datang dari kejauhan. Ya, Waktu membenciku pada permulaan
ini. Aku lebih berjalan lambat, tanpa peduli bahwa Waktu tidak bisa
meninggalkanku sendirian.
Aku
tahu perasaan Waktu ketika itu, karena kini aku merasakan bagaimana sakitnya
ditiadakan oleh orang lain.
Aku
tak pernah lupa ketika Waktu menemukanku menangis di pojokan kamarku yang
sempit. Di antara rinai hujan,
menelisikkan suara rintiknya yang begitu kelu. Ia tahu aku tidak bisa
kehilangan sepasang malaikat yang senantiasa mengelus rambutku sebelum beranjak
tidur. Atau, membuatkan sarapan kesukaanku, telur dadar.
“Ayo ikut denganku, akan kuajak jalan-jalan.”
Sang Waktu mencoba menghiburku.
“Tidak,” aku menolaknya. Kepalaku masih
tersembunyi di balik pelukanku pada kedua lutut.
“Terakhir kali aku ikut denganmu, kau
mengambil Ayah dan Ibu.”
“Kau pembohong.”
Waktu
terdiam. Aku melihat jarum jam dinding kamarku juga berhenti. Hanya aku dan ia
yang sadar dalam dimensi ini. Aku bisa membaca Waktu ingin segera membantah,
tapi urung dilakukan. Aku pergi meninggalkannya, karena aku taklagi percaya
padanya.
-ʑ-
Sepuluh
tahun lamanya aku tak bersua dengan Waktu. Kita berdua sepertinya belum
merindukan satu sama lain. Padahal, aku
masih seperti dulu, menyukai selasar taman yang banyak dihiasi oleh bunga Mawar.
Menggores tinta pada selembar kertas putih. Menuliskan tiap perjalanan yang
telah kulalui.
Kata
‘sepi’, ‘seorang diri’, dan ‘diam’ masih mendominasi berlembar-lembar kertas
yang sudah menumpuk di atas meja rumahku. Entah kata apa lagi yang bisa
kutuliskan untuk menambah variasi kata baru. Rasanya ada yang kosong di dalam
dada, tanpa tahu obat penawar apa yang tepat untuk menambalnya. Ada yang
berbeda antara dimensiku dengan lainnya. Aku kehilangan Sang Waktu.
Ya,
aku merindukannya.
Apakah Waktu
benar-benar melupakanku?
Kerinduan
ini menghantarkanku pada keterpurukan. Bagai anak ayam yang kehilangan
induknya, aku tak bisa membaca dengan jelas peta kehidupanku. Aku lebih banyak
berjalan di sepertiga malam, hanya untuk berharap, barangkali Waktu akan muncul
di depan sana, dekat kedai kopi kesukaanku.
“Harapan memang selalu ada, tapi aku lebih
percaya pada takdir.”
-ʑ-
Sang
Waktu menemukanku pada suatu sore yang sendu, dengan senja berada di ambang
langit. Siapa pun bisa mendengar alunan rintik-rintik hujan itu. Entah kenapa,
ia selalu menemukanku ketika hujan. Mungkin, karena ia bersahabat dengannya.
Tangan
Sang Waktu membelai pelan pipiku. Serasa Ibu membangunkanku di setiap pagi yang
indah. Betapa terkejutnya aku ketika itu adalah sang Waktu, bukan Ibu.
“Bagaimana
bisa ... kau ....” Aku takpercaya dengan apa yang kulihat.
Sang
Waktu tersenyum.
“Kita,
kan, teman.”
“Aku
tak pernah memanggilmu teman,” ucapku ketus.
“Kalau
begitu panggil aku tamu,” balas waktu, “aku ingin mendengar ceritamu.”
Untuk
pertama kalinya setelah sepuluh tahun, ada yang memintaku bercerita. Ayah
pernah berwasiat, “Kamu pasti akan berjumpa dengan gelap dan terang. Tapi hanya
waktu yang bisa menujukkanmu jalan mana yang tepat.”
Aku
pikir tak ada salahnya berbagi cerita. Toh, pada akhirnya Sang Waktu kembali
hadir di sampingku.
-ʑ-
Sang
Waktu menemaniku hingga sepertiga malam. Senang rasanya kerinduan ini terobati.
Walaupun lisan berbohong, toh batin bisa
berkata apa. Ia ternyata tak pernah meninggalkanku. Ia mengawasiku di balik
langit ketujuh, rupanya. Karena bukan ia yang menyerah akanku, tetapi aku yang
pergi meninggalkannya. Ia percaya, bahwa suatu saat nanti akan tiba masanya
ketika aku dan ia ditakdirkan bertemu kembali. Sampai saat itu tiba, ia
senantiasa memperhatikanku. Sampai hari ini, saat ia membangunkanku dari tidur
lelap.
Kita
mulai saling membuka diri. Waktu menasihatiku banyak hal. Bahwa hidup itu bukan
sesuatu hal yang boleh disia-siakan. Kehilangan adalah perusak keharmonisan
antara perasaan dan emosi yang sudah Tuhan ciptakan secara sempurna untukku.
Bahwa aku bisa menambal kekosongan di dalam dada ini oleh satu hal: rasa cinta.
Waktu
mengajariku, bagaimana dulu Rasulullah SAW menorehkan kisah cintanya dengan
Khadijah, perempuan mulia yang mampu menggugah hati sang kekasih Allah. Ketika
dahulu, Ali bin Abi Thalib harus kecewa saat Fatimah, sang putri Rasulullah
dipinang oleh Abu Bakar dan Umar Bin Khattab. Apadaya, Tuhan menakdirkan Ali
mengarungi bahtera pelayaran kehidupan bersama Fatimah.
Waktu
mengajariku, ia dan takdir berbeda. Mereka diciptakan dari hal yang berbeda.
Waktulah yang menunjukkan jalan pada takdir, ke mana ia kan berlabuh.
Waktu
berpesan padaku, untuk mencoba melangkah dalam perspektif yang berbeda. Bahwa
bumi ini diciptakan bukan untuk berjalan dalam satu langkah perjalanan. Membuka
gembok hati adalah kunci utamanya.
-ʑ-
Dalam
suatu pagi yang sendu, seperti biasanya, aku terpaksa meneduhkan diri di kedai
kesukaanku, lima puluh meter dari rumah. Pagi ini langit menangis tidak keruan.
Orang-orang berbondong, beranjak dari santainya hanya sekadar mencegah bajunya
basah. Di antara orang-orang itu, ada seorang gadis yang memancing perhatianku.
Bukan karena ia cantik tiada tara, tapi karena aku melihat Sang Waktu menuntun
gadis itu ke kedai ini. Ke arah mejaku.
“Maaf,
apakah kursi ini kosong?”
Sang
gadis bertanya di antara lamunanku. Kemudian dia melengkung senyum. Sang Waktu
langsung menginjak kakiku yang tersembunyi di balik meja.
“Aww
....” Aku mendelik pada Sang Waktu. Ia balas memandangku dengan tatapan tajam
sembari memberi kode perihal gadis ini.
“Eh,
iya, kosong kok,” jawabku tergugup.
Sang
Waktu pergi meninggalkan gadis itu sambil tersenyum. Entah berapa banyak rencana
yang sudah disiapkan olehnya di balik langit ketujuh. Aku ditinggalkan dalam
perasaan campur aduk antara senang, terkejut, ataupun bingung.
Ya,
dalam sekejap aku sudah dijebak oleh kekaguman. Walaupun dia hanya bertanya
sekilas, aku bisa melihat dari kedalaman wajahnya. Wajah yang menunjukkan
kesederhanaan dan kebaikan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Gadis itu
masih duduk di kursi depan sana, persis di hadapanku. Di meja yang sama. Karena
langit belum mau berhenti menangis, gadis itu pun memesan kopi yang sama
denganku. Permulaan keterpautan, pradugaku.
Aku tahu maksudmu,
Waktu. Kamu memang sahabatku.
-ʑ-
Aku
terbangun di sepertiga malam. Ada secarik kertas memo menempel di dahiku. Jangan sering-sering jalan-jalan malam,
sekali-kali berdoalah. Isi pesan itu memantik rasa penasaran. Tetiba,
terdengar bunyi kaleng jatuh berdentang di luar kamar. Ada secarik kertas juga
di dalamnya.
Munajatkan doamu
agar kekagumanmu padanya berubah menjadi harapan yang mampu membawamu pada
langit ketujuh. Karena aku menunggu ketika kamu menemuiku dengan seseorang yang
ada di dalam doamu.
-ʑ-
Setiap
hari aku menunggu sang gadis di meja dan kursi yang sama. Hujan, terik panas,
bermusim-musim cuaca berganti, aku tetap di sana. Dalam penantianku, kutitipkan
sebuah surat pada sang waktu melalui sujudku di sepertiga malam. Surat tanpa
kertas.
Wahai Sang Waktu, entah berapa banyak rencana yang kautuliskan
untukku selama sepuluh tahun ini. Kau tahu, sepuluh tahun bukan waktu yang
sebentar. Sepuluh tahun kau peduli padaku di balik ketidaktahuanku dan selama
itu pula aku membencimu. Bukan kau yang tak memaafkanku, sahabat. Aku yang
pergi meninggalkanmu ketika dulu.
Bila kau bertemu dengan kegelapan, sampaikan pesanku
padanya. Aku takkan lari meninggalkan takdir. Aku akan tetap di sini, menanti
matahari tiba, atau ia boleh menemuiku duluan. Aku harus segera berkisah
padanya, bahwa kini aku memilihmu, Waktu. Kaulah satu-satunya bukti dari
perjalananku. Perjalanan metamorfosa yang aku pikir, inilah kenangan terbaik.
Terima kasih Waktu, semoga kita bisa benar-benar bertemu di langit ketujuh.
Di
hadapan gadis yang kini menarik kursi di depanku, aku membisikkan padanya
panjatku, yang membuatnya tersenyum.
“Aku
dan kamu diciptakan berbeda untuk saling melengkapi. Tuhan sengaja menitipkan
tulang rusukku padamu agar kamu tidak tersesat dalam pelayaran menemukanku. Di
muara pelabuhan yang orang menyebutnya, cinta.”
Gadis
itu diam tanpa kata, dia hanya tersenyum bahagia. Dia tidak mengucap apa pun
selain menatapku lekat dan menggenggam erat kedua telapak tanganku. Dua raga
manusia hari ini dipersatukan oleh sebuah ikatan hati yang abadi. Sang Waktu
hadir di antara kita berdua. Tersenyum bahagia, sama seperti gadis di hadapanku
ini. Dalam sekejap, dimensi ini serasa berubah.
Kita sudah di
langit ketujuh, rupanya.
aku suka karya qaqa qaqa col bingitz aq dede gemeash qaqa pengen ktemu dech
ReplyDeleteSilakan haha
Delete