Tidak
ada yang baik-baik saja selama hujan terus menderas. Tidak ada yang baik-baik
saja jika rindu tak kandas-kandas. Tengoklah ke langit ketika malam tiba. Pada desir
angin yang mengalun pelan di telinga. Pada desau-desau dari pohon Kersen yang
berdiri kokoh di hamparan taman. Kita
tidak pernah tahu, kapan kita akan menyesali sesuatu atau kapan kita akan
mengerti.
Bahwa,
kesempatan bukanlah carikan kertas dari sebuah buku tulis yang bisa kaurobek
sesukamu, mencampakkannya, dan mengambil carikan lainnya.
Kau
selalu percaya, jika hidup adalah sebuah dimensi yang diciptakan masing-masing.
Perihal-perihal yang kauingini dan cara mewujudkannya. Kaupikir dengan hidup bebas,
kau merasakan bahagia yang utuh.
Tapi
itulah dirimu. Tidak mau mendengar, hanya mau bicara dan membantah. Hingga akhirnya Kegelapan mendatangimu,
menawarimu kebahagiaan utuh itu, dan memelukmu erat-erat. Jauh dalam pekatnya
malam.
//
Pikiranmu
mulai tidak waras. Pada sesepoi angin malam, kau duduk di atas rerumputan hijau
pinggir danau. Kini orangtuamu tidak lagi menerimamu karena apa yang kaulakukan
lebih dari cukup untuk mengecewakan mereka.
Sang
Kegelapan duduk di sampingmu, merengkuhmu pada pundaknya. Dia berkata semua
akan baik-baik saja. Dia berkata semua akan berlalu. Lalu langit pun menangis.
Pada derai air mata langit, kausesenggukan dan bersyukur, gerimis di matamu
tersamarkan oleh hujan.
Seminggu
yang lalu, saat seseorang lelaki yang selama ini kauidamkan berkata akan datang
ke rumah, hatimu sungguh merona-rona. Kau menari di atas bahagiamu sepagian,
sesiangan, sesorean, hingga semalaman.
Lelaki
itu yang kerap menemanimu meliuk di dalam resap kehangatan. Semalaman. Setiap
hari. Dua tahun. Entah, kaurasanya sudah takbisa lagi menghitung detik demi
detik. Kau sendiri takbisa membedakan mana salah mana benar. Kau hanya tahu
jika apa pun yang kaulakukan adalah benar.
Setiap
bahagia selalu punya alasan. Semisal seorang manusia yang sedang frustasi
karena selalu gagal berkali-kali, pada suatu waktu dia berhasil meraihnya. Dia
punya alasan untuk berbahagia. Serupa itulah dirimu, bahwa bahagiamu punya
alasan. Tapi sepertinya bukan karena dia adalah lelaki idamanmu semata, tapi
atas sesuatu yang kausembunyikan selama ini di balik perutmu.
Sang
Kegelapan tersenyum. Dia bilang semua akan baik-baik saja. Dia bilang semua
akan berlalu.
Tapi,
ketahuilah, duhai wanita berambut kemerahan dan bola mata seindah langit di
terang hari, kala hujan masih menderas, tidak ada yang akan baik-baik saja.
Itulah yang terjadi kala lelaki itu datang dan mengatakan dia akan menikah
dengan orang lain. Maka, pikiranmu mulai tidak mewaras.
Kau
meringkuk ketakutan di balik selimut. Menangis sesorean. Kaulempar semua
barang-barang di kamarmu. Tidak biasanya kau seperti ini. Kau adalah seorang
pencari kebebasan sejati. Hal ini seharusnya tidak membunuhmu, tapi nyatanya
kau baru saja melakukannya.
Kaukunci
kamar. Kauteriak sekencang-kencangnya. Kau terlalu lama jatuh dalam perasaan
pada lelaki itu. Sangat dalam. Kau sudah menyerahkan sepenuhnya dirimu pada
lelaki itu. Lalu, ke mana gerangan dirimu yang dikenal tangguh, takpeduli,
kerap pura-pura tuli ketika diberi nasihat? Ke mana gerangan dirimu yang
kemarin, lusa lalu, dirimu yang dulu?
Dan
di sinilah kauberakhir, melempar kerikil ke danau dan membiarkan Sang Kegelapan
terus menelanmu.
//
Sang
Kegelapan adalah sebuah bagian dari kehidupan yang acap mendatangi
manusia-manusia untuk menawari kebahagiaan semu. Pada jiwa-jiwa yang berkelana
mencari kebenaran tapi sesungguhnya mereka buta. Tidak fisik, tapi pada
keutuhan. Di sanalah Sang Kegelapan menyusupkan bisiknya pada manusia-manusia
itu.
Sekalipun
lelaki itu sudah pergi, kau terus merindukannya setiap hari. Kau selalu
percaya, kau akan bersamanya. Entah itu membutuhkan hari, minggu, bulan, tahun,
atau bahkan selamanya. Tubuhmu sudah semakin kurus. Kau tahu itu berbahaya
untuk sesuatu yang kausembunyikan di balik perutmu selama berbulan-bulan ini.
Kebohongan
itu ikut menelan dirimu.
//
Pada
rindu yang melekat di dinding-dinding kemustahilan, mencintai seseorang yang
sudah pergi bukan sesuatu yang harus disesali. Diam-diam, di pinggir danau,
kau, kali ini tidak ditemani Sang Kegelapan, menatap kosong riak-riak yang
bermunculan di danau seiring kau terus melemparinya dengan kerikil-kerikil
kecil. Kau tidak sendirian.
Kau
membawa seorang makhluk takberdosa. Dia kerdil, lemah, rapuh, tapi dia butuh
kau. Malam ini dan pasti, selamanya. Kau menamai jagoan kecilmu Langit Pagi.
Kau berdoa semoga dia tidak tumbuh seperti lelaki itu.
Kau
kembali menangis. Orangtuamu marah besar karena hadirnya Langit Pagi. Kau
memutuskan pergi dan ingin membunuh satu per satu atas semua hal yang terjadi
di masa lalu.
Pada
suatu malam, Sang Kegelapan datang dalam lelapmu. Berkata dia merindukanmu teramat
sangat. Dia membelai pelan rambut merahmu yang dulu sepinggang namun kini
sebahu. Dia berbisik di telingamu dan rasanya ada resap yang mendalam kaurasakan. Tapi
...
Entah
mengapa sedikit bagian dirimu berteriak jika yang kaulakukan selama ini salah.
Bahwa Sang Kegelapan hadir bukan untuk menuntunmu tapi untuk menelanmu
dalam-dalam.
“Aku
ingin mengajakmu menembus batas kebahagiaanmu: pada rasa-rasa yang belum pernah
diresap tubuhmu.”
Dan
kau pun tenggelam. Jauh di lubuk hatimu, kau sudah lelah. Ingin lari dari
Kegelapan. Tapi kau takmampu.
//
Lalu
lalang keramaian jalan raya seperti biasanya. Mobil-mobil padat memenuhi tengah
jalan, kaki-kaki yang menyeruak harapan-harapan sirna di sepanjang trotoar, dan
sekelompok orang yang berusaha menyambung hidupnya melalui bermusik di depan
pertokoan.
Hidup
memang penuh pertanyaan. Manusia selalu mempertanyakan namun jarang mencari
petunjuk terlebih dahulu. Mereka hanya ingin jawaban, jawaban, dan jawaban.
Kau
mendorong kereta bayimu menyelusuri setapak trotoar, dari brosur yang
menggantung di tasmu, sepertinya kau mengejar toko di sudut jalan. Ya, ke
sanalah kau akan pergi. Sebelum akhirnya, terik panas yang sedari tadi
menusuk-nusuk tubuh lemahmu, berhasil meringkusmu jatuh ke tanah.
Kau
mengaduh. Seseorang menghampirimu. Wajahnya begitu gelisah. Lelaki bersweter
gelap itu menelepon sesuatu dan lima menit kemudian ambulans datang, dia
membantumu naik ke atas mobil itu, dan menaikkan makhluk yang sedang bermimpi
manis di kereta bayi itu ke dalam mobilnya.
Sesampainya
di rumah sakit, lelaki itu mengurus semua keperluan sembari menggendong anak
itu. Pertemuan selalu mengejutkan bukan? Bahkan terkadang manusia tidak memikirkannya
sama sekali tapi terjadi.
//
“Hei,
pelan-pelan,” lelaki itu terkesiap, melihatmu terbangun, dan sedikit panik
melihat selang-selang yang menyelubung ke pergelangan tangan kananmu, dan kau
berusaha mencabutnya.
“Siapa
kau?”
“Andra.
Aku menemukanmu pingsan di trotoar. Lalu aku membawamu ke sini.”
“Mana
Langit?” tanyamu lagi. Andra kebingungan. “Anakku, Langit Pagi, mana dia? Oh
aku meninggalkannya di pinggir jalan.” Perlahan gerimis mulai berjatuhan di
matamu.
“Jangan
takut, dia ada di sana,” tunjuk Andra ke arah dekat meja. “Dia ada di dalam
boks bayi itu. Aku membawakannya dari rumahku.”
Kau
menatap lelaki itu lamat-lamat. Sesuatu bergemuruh di dadamu. Kau tidak tahu
apa itu. Kau sudah memilih tak merasa apa-apa lagi sesaat kau meninggalkan
semua masa lalumu.
//
Sepuluh
hari melewati hari-hari di rumah sakit, takkan meninggalkan kesan baik bagi
para pasien, terkecuali dia senang berada di sana. Andra mengundangmu untuk
makan malam, merayakan kembali sehatnya dirimu.
Dadamu
terus bergemuruh. Kau takkenal Andra sebelumnya. Dan kini, dia mengundangmu ke
rumahnya. Bayang-bayang masa lalu memelesat dan tak kandas-kandas. Kenangan
demi kenangan yang meranggas pikiranmu.
Kau
takut untuk menghadapi masa kini dan menebak masa depan. Semuanya sudah direnggut
oleh masa lalu.
“Ceritakan
padaku tentang hidupmu. Juga tentang siapa bapak dari anakmu itu.” tanya Andra.
Maka
kau pun menceritakannya semua. Tentang masa lalumu. Tentang kegelapan yang
merengkuhmu. Separuh dari dirimu merindukan Sang Kegelapan, separuh dirimu
lelah. Lari dari kehidupan. Kau sudah kehilangan segalanya. Kaupikir
kesempatanmu sudah habis dan satu-satunya alasan kau tidak mengakhiri hidupmu
lebih cepat adalah anakmu.
Denting
sendok dan garpu berhenti mengalun. Andra, lelaki usia pertengahan, duduk di
apartemen sewanya berhadapan denganmu. Berharap ada bagian-bagian dari
kehilangannya yang bisa sembuh dengan bertemu orang-orang yang mengalami hal
serupa.
“Tapi,
kamu pantas mendapat kesempatan lain,”
“Apakah
aku kurang jelas? Masa lalu membuat hidupku hancur, katakan, kesempatan apa
yang pantas kudapatkan?” tanyamu, sedikit meninggikan nada suara.
“Hei,
tenang. Semua hal butuh proses. Jangan biarkan masa lalumu, juga Sang
Kegelapan, menelanmu sampai entah kapan. Kamu tidak sendirian. Istriku
meninggal lima tahun lalu. Dalam kecelakaan. Kejadian itu merenggut nyawa
anakku juga yang masih berusia lima tahun. Tahukah kamu bagaimana rasanya itu?
Lalu ketika menatapmu di Rumah Sakit, aku menatap sorot mata itu. Sorot mata
yang serupa denganku. Memantulkan kenangan-kenangan kelam.”
“Masa
depan apa yang pantas untuk anak ini?!” teriakmu, emosi pun hadir membelah
malam. “Aku tidak bisa begitu saja membunuh masa lalu. Separuh diriku tidak
menginginkan itu!”
Andra
terdiam sebentar, “Malam ini menginaplah. Besok pagi akan kutunjukkan
pemandangan fajar dari atas bukit takjauh dari sini. Kamu harus tahu jika akan
selalu ada jalan bagi sesiapa yang berniat untuk melupakan apa yang sudah
terlewati dan memulai lembar kehidupan baru.”
“Tidak
ada, Ndra! Tidak ada! Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan!” Hujan
pun turun. Entah di matamu atau di luar jendela: jatuhnya bersamaan. Bagi
Andra, membuat seorang wanita menangis adalah sebuah kesalahan.
“Mulailah
dengan memaafkan dirimu sendiri.”
Kau
pun tetiba terdiam. Seolah tertohok oleh ucapan Andra. Memaafkan diri sendiri.
“Semua
orang punya masa lalu yang kelam, dan sama sepertimu, mereka pasti akan
melewati fase di mana rasanya mati adalah sebuah solusi. Tapi percaya padaku,
kamu bisa menjadi lebih baik daripada ini. Manusia bisa berubah. Begitu pun
kamu. Jika perlu, aku siap membantumu.”
Andra
mengambil beberapa helai tisu di atas meja dan mengusapkannya padamu.
//
Pagi,
siang, dan malam, kau terus memikirkan perkataan Andra. Maafkan dirimu sendiri. Dia menatap sang jagoan yang sedang dalam
gendongannya. Bagaimana dia bisa melalui hidup jika tidak ada ibu di
sampingnya? Bagaimana dia bisa tumbuh menjadi manusia hebat jika ibunya terus
tenggelam di masa lalu?
Kau
pun memejam mata. Kamar yang cukup kecil ini serasa luas bagimu. Pelan, pelan,
dalam hati kau melirih. Kau benar-benar ingin melepas semua apa yang sudah
terjadi. Separuh dirimu yang masih menginginkan Sang Kegelapan, perlahan mulai
berganti kapal menujumu. Resap ... resap ....
Rasanya
sesepoi angin membelai tengkukmu. Hujan di luar jendela menelisikkan
simfoni-simfoni kelu. Tidak yang baik-baik saja selama hujan menderas. Tidak
ada yang baik-baik saja selama rindu tak kandas-kandas. Ya, saat ini dirimu
merasa bahwa derai air mata langit ini menyelusupkan kesenduan dalam dadamu.
Pelan,
dan pelan, semua bayang-bayang perihal lelaki itu, semua kesalahan-kesalahan di
masa lalu, mulai tersapu dan terlupakan. Gemercik hujan menamabah resap di
balik pejaman mata dan dadamu.
Kau
sudah membuat pilhanmu.
//
Sesorean
ini kau berlari kecil, membelah gerimis, dan mengetuk sebuah pintu rumah di
pinggir jalan perumahan, takjauh dari pinggir jalan raya. Andra membukakan
pintu. Kau duduk di salah satu kursi di meja makan Andra yang merangkap sebagai
ruang tamu, dan kemudian dia menyuguhkan secangkir teh manis hangat.
Pandanganmu
saling bertemu di kerinduan yang saman dengan Andra. Menyelusup jiwa. Perlahan,
kau pun mengatakan apa yang menyesakkan dadamu, yang terus tumbuh setiap hari.
“Aku
pikir aku butuh bantuanmu untuk berubah menjadi lebih baik lagi. Entah berapa
lama, tapi kupikir, selamanya.” Kau menggenggam jemari Andra. “Apa yang sudah
kaulakukan padaku beberapa bulan terakhir ini sungguh menyadarkanku. Tentang
arti memaafkan diri sendiri sebagai jalan untuk melepaskan masa lalu.”
Andra
tersenyum, “Jangan bilang takpunya kesempatan lagi, ya,”
“Jangan
bilang takpunya kesempatan lagi,” ujarmu mengikuti.
“Detik
ini, kita akan bersama, sekarang dan selamanya,” tukas Andra.
Rasanya
hari ini begitu sendu sekali. Haru hadir di ruangan ini di tengah kerinduan
yang begitu dalam. Andra pun memelukmu erat sekali. Seakan-akan dia akan
bersegera mati dan tak bertemu denganmu lagi.
Sementara
itu, jauh di atas langit sana, ada sesosok yang tersenyum melihat akhir seperti
itu. Dia tahu semuanya yang dirasakan oleh mereka. Bukankah semua akan indah
pada waktunya? Tukas sesosok itu. Tak ada
yang tahu, bahwa sosok itu adalah aku. Akulah Sang Takdir. Yang
menuliskan kisah-kisah perjalanan hidup manusia. Termasuk menuntunmu pada
lelaki itu.
SELESAI
Kesempatan adalah
sebuah anugrah dari Sang Waktu. Membuat manusia belajar untuk mengapresiasi
tiap momen-momen yang dijalani dan menunjukkan arti dari penyesalan dan menuju
sebuah kebaikan hakiki. Kesadaran diri untuk menemukan kebenaran di balik
kesalahan demi kesalahan.
0 comments:
Post a Comment