Aku
sudah setengah jalan menuju kelas Matematika Ekonomi ketika Arindya mencegat di
depan koridor terakhir. Wajahnya berseri-seri. Di pelukannya ada buku diktat
Chang terbitan lama. Seperti biasa, kupluk menutupi rambut merah ikalnya.
“Bagaimana
pagimu?”
Arindya
menyerahkan buku itu ke pelukanku dan itu sungguh menyebalkan. Siapa yang punya
siapa yang bawa. Aku mencibir ke arahnya dan itu membuat Arindya semakin keras
tergelak.
“Sama
aja seperti biasa.”
Aku
memelankan langkah yang tadi sedikit terburu-buru—tadi kupikir aku sendiri yang
telat, nyatanya banyak yang juga baru datang—dan membetulkan posisi buku itu di
pelukanku agar tidak jatuh.
“Hidupmu
datar sekali!” seru Arindya, diiringi cibiranku yang kedua.
Langkah
kami sudah dekat dengan pintu kelas hingga seseorang muncul dari balik pintu
dan pandangan kami saling bertemu—Iza. Aku sedikit gelagapan, karena momen
dadakan ini, sebelum akhirnya Arindya mencairkan suasana dengan menyapa gadis
itu.
Senyummu
kala itu sungguh membekukan tubuhku. Senyum yang ingin sekali kuberi pigura dan
dipajang di kamarku. Tapi, nyatanya aku hanyalah seorang pemimpi di siang
bolong.
“Kamu
sakit, Qy?”
Entah
apa wajahku mendadak memias karena gugup tadi atau memang dia bisa membaca
pikiranku, Iza menanyaiku seakan aku tidak seperti biasanya.
“Ah
... oh, nggak ... aku baik-baik saja ... kebanyakan begadang.”
Senyumku
yang dipaksakan mampu menipu gadis itu. Dia membetulkan posisi kacamatanya dan
kemudian berlalu melewatiku. Arindya menahan gelaknya sebelum dia lepaskan di
dalam kelas. Anak-anak kelas yang lain memandangi gadis itu dengan heran.
“Mikirin
apa kau tadi dengan alasan itu?”
Arindya
menertawaiku sambil menarik kursi di barisan paling belakang. Aku mengikuti di
sampingnya. Aku juga tidak tahu mengapa aku harus berpura-pura di hadapan Iza.
Padahal sudah tiga tahun kami berada di kelas yang sama.
“Jika
dia tahu sesuatu soal perasaanku, dia pasti akan menatapku dengan cara yang
lain. Tadi itu dia benar-benar menanyaiku.”
“Well,” tukas Arindya, “Sekarang kau
percaya padaku bahwa aku nggak membocorkan apa pun.”
***
Terkadang,
ada hal-hal di dunia ini yang harus direlakan. Takpeduli apa itu meruntuhkan
perasaan yang sedang dibangun atau bahkan menghancurkannya menjadi serpihan.
Iza menjadi semesta yang takpernah selesai untukku. Kepingan terakhir takpernah
bisa kudapatkan.
Karena
untuk mendapatkannya, aku harus mengatakan perasaanku kepada Iza.
Di
sinilah yang paling sulit, aku takpunya keberanian apa pun. Seperti sekarang,
saat aku memandangi seberang meja di kantin Sapta, saat dia sedang menikmati
makan siangnya dengan sahabatku sendiri—membuat
segalanya menjadi rumit.
“Kaupikir
dengan memandangi akan memberi solusi? Aku tahu soal nilai-nilai UTS-mu yang
turun.”
Arindya
muncul membawa gelas es teh manisnya. Duduk persis di hadapanku—menghalangi
pandangan ke arah Iza. Gadis berkulit putih, seperti Sunda pada umumnya, dan
penyuka warna biru. Aku tahu semua tentang gadis itu. Hanya saja tidak tahu
seperti apa perasaannya padaku.
“Sok
tahu,” balasku singkat.
“Kau
lupa kalau aku yang bantu Pak Harjo koreksi nilai?”
Ah,
benar juga. Aku menarik satu sisi bibirku. Senyum yang senada dengan ledekan.
Arindya menjulurkan lidahnya dengan cepat dan menariknya kembali.
“UTS-ku
nggak ada hubungannya dengan Iza.”
Arindya
melirik ke arah belakangnya. Lalu kembali ke arahku dengan senyuman yang persis
tadi kuberikan padanya.
“Nggak
ada hubungan dengan orang yang kaubohongi tadi pagi dan terus kauperhatikan
sejak kalian duduk di sini?”
Aku
mengedikkan bahu. Arindya berdecak kesal. Sejak kapan gadis itu mengurusi
kehidupan percintaanku sejauh ini?
“Hei,
alis tebal. Nikmati saja tehmu itu.”
Aku
meledeknya dengan wajah sebal. Arindya tergelak pelan. Dia meraba alis tebalnya
itu—garis India dari ibunya—dan mencibirku. “Ngaca dong. Kau juga alis tebal, bodoh.”
Aku
buru-buru menyelesaikan sisa makan siangku karena kehadiran Arindya sudah
membuyarkan semuanya. Iza masih menikmati makan siangnya sambil berbincang
dengan sahabatku itu. Aku tidak perlu menyebutkan namanya karena tidak penting.
Aku sudah mengambil jarak dan memberi dinding di antara kami.
Seselesainya,
aku tidak punya alasan apa pun untuk tetap di sini. Perpustakaan mungkin jadi
tempat yang baik untuk menghabiskan waktu menuju kelas berikutnya yang masih
satu jam lagi. Hanya ada pilihan yang baik untuk dilakukan di sela jam kuliah:
tidur di mesjid Al-Hurriyaha atau merenung di perpustakaan.
“Kau
sungguh mau melepaskannya begitu saja?” tanya Arindya, menahan tanganku yang
hendak meraih tali slingbag-ku di
atas meja.
“Apa
maksudmu?”
Aku
melepas pegangan itu dengan paksa. Ini jauh terlalu dalam Arindya mencampuri
urusanku.
“Aku
tidak mengerti mengapa kamu begitu peduli. Iza sudah pergi. Aku sudah pergi.
Apa yang kulakukan hanya untuk memastikan dia baik-baik saja.”
Arindya
tergelak. Kali ini cukup keras. Oke, gadis ini jadi gila sekarang.
“Kau
bukan Ariqy yang kukenal. Orang itu selalu logis dan punya alasan yang tepat
ketika melakukan sesuatu.”
“Oh,”
balasku menyanggul slingbag,
“alasanku kuat: Iza sudah membuat pilihan hidupnya, jenis orang yang seperti
apa. Dan aku sadar bahwa aku takpernah bisa menjadi seperti itu.”
Aku
beranjak dari mejaku dan pergi meninggalkan Arindya di sana. Terkadang,
merelakan sesuatu itu memang sulit. Dan terkadang, melawan kehendak semesta
juga lebih sulit. Seperti tetap menungguimu meskipun aku harus merelakanmu
bahagia dengan orang lain. Untukmu, aku hanya ingin menunggu saja.
Cinta
selalu rumit, bukan?
0 comments:
Post a Comment