Taman
Gladiator selalu menjadi tempat menyenangkan untuk bersantai selepas kuliah.
Aku memilih pukul empat sore sebagai waktu yang tepat. Dengan bangku-bangku
yang tertutupi kanopi, seperti halte berdinding tebal, aku bisa merasa aman
dari panas atau hujan.
Satu
hal yang unik dan kusukai dari Bogor: hujannya yang tidak mengenal musim.
Seperti air mata yang bisa jatuh kapan saja; meriak di pipi yang kering dan
menggenang di danau penyesalan.
Menulis
selalu menjadi pelampiasan terbaik atas segala hal yang meranggas pikiran dan
dadaku. Taman Gladiator merupakan tempat terbaik untuk itu. Sebulan setelah UTS,
semuanya masih tampak sama. Nilai yang jatuh, Arindya yang makin rewel, dan
Iza; segenggam perasaan yang kini mulai menipis bayangnya di dalam dadaku.
Ada
ketakutan sendiri tentang menipisnya bayang itu. Selama ini, dengan
menghadirkan bayangnya di dalam dadaku, aku bisa merasakan ketakutan-ketakutan
untuk kehilanganmu. Ketakutan itu yang membuatku terus berharap bahwa suatu
waktu nanti aku bisa bersama denganmu.
Memangnya
salah bila aku terus menunggui seseorang yang hatinya bahkan taktersedia lagi
untukku?
Aku
pernah menanyakan itu pada Arindya dan dengan lantang dia mengatakan bahwa aku
memang salah. Gadis itu selalu kuat pada pendapatnya—tentang benar dan salah.
Namun,
ada satu perkataan Arindya yang membekas: “Apakah Iza sudah mengatakan kalau
kamu tidak pantas bersamanya?”
Sejujurnya,
aku ingin sekali menanyakannya pada Iza. Sudah sejak lama, sejak awal pertemuan
kami yang begitu biasa berubah menjadi sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang
membuatku kuat, memberi cahaya di antara lorong yang gelap gulita.
Aku
menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Pepohonan yang menancap
kokoh di sepanjang sisi seberang dan belakangku membuat tempat ini begitu segar
dan tenteram. Lalu-lalang kendaraan tak mengusikku sekali pun.
Kegelapan
memang tempat yang pernah kudatangi. Setelah kepergian Ayah dan Ibu di saat
usiaku sepuluh tahun, kupikir aku tahu segalanya. Tentang kehidupan.
Sepuluh
tahun, aku tenggelam dalam kesepianku sendiri. Bertemu dengan beberapa orang
yang pernah mencoba membantuku keluar dari tempat gelap itu. Tetapi, mereka
gagal. Sebaliknya, mereka pergi. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya; Iza.
Dia menunjukkanku cara keluar dari lorong sepi.
Hanya
saja, tanpa memilikinya, aku takkan pernah benar-benar keluar dari tempat itu.
Melihatnya
bersama lelaki lain, seperti sebuah pedang bermata dua. Aku ingin keluar dari
kegelapan itu. Tetapi, aku juga tidak mampu menerbitkan segenggam keberanian
pun. Keraguan menyergapku. Bodoh? Entahlah. Bisa jadi.
Arindya
pernah berada di kegelapan yang sama denganku. Dia mengerti. Tapi dia pun tidak
memberiku cahaya. Dia sudah punya cahaya lain yang menuntunnya keluar dari
kesepian itu.
Aku?
Hanya dengan duduk di taman ini aku bisa menyingkirkan semua beban di kepala.
Rasanya seperti dihantam godam. Menunggu pecah saja menjadi keping-keping.
Berserakan di jejalanan kosong bernama kesendirian.
Mungkin,
orang-orang melihat Iza sebagai sosok yang menarik secara fisik. Aku akui itu.
Iza tidak pernah membuat dirinya menjadi menarik. Dengan tampil apa adanya,
semua lelaki sadar bahwa ada seseorang yang mereka siap curi hatinya.
Tetapi
lebih dari itu, di kedalaman matanya, aku sadar, Iza bukan hanya menarik secara
fisik. Aku merasa teduh. Aku merasa kegelapan dari tubuhku tersapu perlahan.
Hanya dengan melihat di kedalaman matanya. Cahaya yang bisa menuntunku keluar
dari kegelapan itu.
Tidak
seperti perempuan lain yang pernah singgah di perasaanku. Iza bukan seseorang
yang begitu saja ingin kudapatkan. Oh, memang perempuan sebelumnya yang datang
ke hidupku mengatakan perasaannya terlebih dahulu, sehingga aku dengan mudah
mengiakan.
Ternyata,
cara itu salah. Hatiku tidak pernah benar-benar setuju dengan cara itu. Dia
hanya memilih tiga orang di dunia ini di sepanjang hidupku, dan dua di
antaranya sudah pergi—selamanya. Dan
Iza, aku tidak ingin kehilangannya juga.
Terkadang,
untuk satu-dua orang yang takpernah bisa manusia miliki, mereka cenderung untuk
mengambil langkah menjauh. Tidak denganku. Tidak hanya langkah menjauh; aku
memastikan bahwa dia benar-benar bahagia. Meskipun bukan denganku.
Gerimis
yang turun menyadarkan kontemplasiku. Aku buru-buru mengenakan jaketku sampai
akhirnya langkahku terhenti:
Iza
duduk di seberang sana sendirian, memegang payung yang terbuka menutupi
tubuhnya.
Apa yang kaulakukan, Iza?
Hujan
pun menderas.
0 comments:
Post a Comment