Aku tidak perlu bertanya seperti apa rupaku di kepalamu. Mencari tahu ialah tugasku, mengingat ialah tugasmu. Di antara hujan-hujan yang ingin kulupakan, ada sederas hujan lain yang jatuh untuk kali pertama di atas lapang dadaku.
Di sana, kau tiba tanpa permisi. Berjalan menyeruak rerumputan seakan sudah mengetahui segala seluk-beluknya. Di sana, segala yang gersang mendadak rimbun kembali. Hadirmu, memberikan nyawa untuk perasaan yang (pernah) menemui kematiannya sendiri.
Aku tahu, kamu tidak membicarakanku. Tetapi, membaca apa yang kamu hidupkan di dalam katakata itu, membuatku berpikir apakah begini rasanya dicintai orang lain?
Setidaknya, biar semua ini jadi asumsi semu untuk sementara.
Sekian lama, aku (pernah) menunggu; sekian lama, aku berusaha belajar untuk memaknai perasaan yang memang takpernah tertuju padaku. Perasaan ini hanya bergerak satu arah—kepala ini selalu percaya bahwa apa yang dijalani berjalan dua arah.
Aku salah. Aku (akhirnya) menyerah.
Di penghujung hari, aku berdoa, barangkali aku akan menemukan—kamu. Tetapi, bisa saja aku terlalu berpraduga, atau kamu yang memang tak memberitahuku apaapa. Namun, bila semua itu benar, aku tidak tahu apakah harus melangkah menujumu saat ini atau bahkan di waktu yang lain—yang jelas, aku mencintaimu.
Jatuh cinta memang milikmu; menunggu kamu menyadari keberadaanku, itu milikku seorang.
0 comments:
Post a Comment