Ada jejak-jejak kenangan menyapa kala rintik menyentuh tanah. Aromanya menenangkan namun terkadang mengingatkan pada pilu yang menyesakkan.
Di sinilah kita—tempat segala kenangan bermula. Bangku kayu tua jadi saksi; kita pernah melukis senja dari beranda rumahku. Tempat yang katamu, ialah rumah kedua. Selamanya, rumah pertamamu ialah aku. Tetapi, itu dulu.
Ya, dulu. Dulu yang kadang masih jelas dalam benakku yang akan menjadi nanti. Masa depan kita. Dulu, sebelum duniamu berubah menjadi dunia yang tak aku kenali sama sekali.
Dulu kita berjanji, bahwa selamanya akan bersama—sebelum jarak mulai membunuhku perlahan. Di dadamu, aku pernah menanam rindu; yang diamdiam terbakar di hening malam. Hatiku gersang, Puan. Hingga seseorang yang lain membasuhnya kembali.
Lihatlah keegoisanmu, tuan. Kau hanya berfikir pada kegersangan hatimu. Bagaimana dengan aku? Apakah aku pernah sejenak terbersit dalam benakmu? Bagaimana dengan penantianku? Kesetiaan dan pengorbananku?Apakah ia jelas lebih baik dariku? Kenapa ia begitu mudah mengalihkanmu dariku? Seseorang yang jelas baru saja kau kenal barang sesaat.
Ego kita sama—jalan kita saja yang mesti sampai pada perpisahannya. Aku tidak ingin mencintaimu sementara kepalaku mulai mencari jalan keluar darimu. Ada satu-dua hal yang membuatku—kita—kuat dan jarak bukan salah satunya. Aku mencintaimu tanpa adanya jeda dan spasi, Puan. Mungkin kau bisa pikir itu sebelum meluaskan jarak.
Ah, sudahlah tuan. Mungkin saat ini sudah saatnya aku berhenti. Membiarkan kenangan-kenangan itu hanya sekedar menyapa sebagai pengingat bahwa duniaku tanpamu takkan selalu sendu. Dan aku akan mulai belajar percaya kelak bahagia akan menghampiri kita sebab Tuhan tak mungkin membuat patah tanpa maksud dan tujuan yang sudah pasti baik untuk masa depan kita.
Tidak ada yang baik-baik saja dari perpisahan. Mungkin, keenggananku bertahan melahirkan luka—tetapi, sungguh mengucap kata pergi takpernah sanggup; beranjak dari dermaga di dadamu dan melupakannya menjadi caraku untuk melaluinya. Aku hanya tidak ingin bersedih untuk waktu lama. Aku tidak ingin kamu taklagi perempuan yang sama. Seperti dulu. Sewaktu kita masih melukis senja tanpa ada jarak di antara.
Benar tuan, tak ada yang pernah baik-baik saja dengan perpisahan. Dan aku dengan segala luka yang masih belum sembuh, akan tetap mengaminkan harapmu. Terima kasih untuk kenangan ini. Dan berbahagialah kau dengan kehidupan yang tanpa ada aku didalamnya. Semoga bahagia akan selalu menghampiri masing-masing kita, kemudian ia menetap selamanya tanpa pernah berniat untuk beranjak.
Kolaborasi kami untuk #KolaborasiAgustus
Jakarta Barat - Jakarta Pusat,
22 Agustus 2018
0 comments:
Post a Comment