Mungkin,
hanya di dalam keterdiaman kita bisa saling bicara. Mengungkapkan segala yang
ada; pada apa yang dilupakan kepala dan dicintai oleh hati. Membaca angin,
bersemilir menuju teduh matamu yang kini taklagi hujan. Aku pernah percaya
bahwa apa yang dijalani kelak baik-baik saja.
Senja
taklagi sama seperti mulanya. Aku berdiri di hadapan laut, berharap tak hanyut
ke dalam pelukannya. Semestinya kita ada di sini, membicarakan segala yang kamu
lalui tetiap hari sembari membiarkan tubuh kita terselimuti pepasir lembut.
Sesekali, kamu akan menjumputnya dan memenuhi wajahku—penuh kejutan.
Sesekali,
aku berharap waktu mati di sini. Agar aku bisa bertahan lebih lama. Agar kamu
bisa rebah di sampingku hingga Tuhan yang tahu kapan aku ingin bahagia ini
usai.
Tetapi,
segalanya telah berubah. Aku berkata baik-baik saja setelah kamu pergi. Aku
berkata bahwa senja akan berbeda, lalu aku menantikannya seakan kamu masih di
sana. Dengan begitu, kenangan yang masih jejak akan tersimpan rapi di antara
pepasir yang sekian lama kita jejaki bersama.
Tetapi,
nyatanya aku kalah oleh keengganan untuk beranjak dari hidupmu. Meski kamu
telah memilih kebahagiaan yang lain, kebahagiaan yang kamu cari sementara aku
takbisa menepati janji: bahwa suatu waktu nanti, aku akan memastikan bahwa
bahagia yang kamu cari ialah aku. Bahwa pelabuhan yang kelak ingin kamu
singgahi selamanya ialah aku.
Namun,
aku begitu bodoh untuk menyadarinya. Aku begitu menginginkan waktu mati,
sementara kamu ingin segalanya mengalir bagai air sehingga kapal yang kamu
nakhodai bisa bertemu dengan pelabuhan itu. Rupanya, aku tidak cukup pantas
untuk menjadi dermaga tempat kapalmu menemukan rumah.
Rupanya,
aku tidak pantas menjadi seseorang yang pantas untuk kamu panggil “rumah”.
Kamis,
02
Oktober 2018 | 15.04
0 comments:
Post a Comment