Berhenti.
Jangan lari lagi. Sekali ini saja duduklah bersamaku di taman pinus ini dan
kita akan bicara. Tentang kamu yang menjadi alasan untukku percaya bahwa
kegelapan adalah ketiadaan sebuah cahaya.
Kita
pernah tertawa bersama untuk sesuatu yang bodoh dan sederhana. Begitu keras dan
bahagia. Ketika itu kita tidak peduli dengan kesedihan. Yang kita tahu hanya
tawa dan senyuman. Kita hanya tahu bahwa matahari selalu menyingkap tirai awan
dengan cahayanya yang hangat.
Tapi,
untuk sebuah alasan, detik demi detik mengubah bahagia itu menjadi air mata
yang alir. Kala yang kukenal hanya hujan yang selalu deras. Kala Tuhan
memanggilmu ke peraduan-Nya dan aku hanya bisa merutuki semua ini dengan api
yang menyala di dalam dada. Api yang hanya akan padam oleh air mata.
Aku
dan hujan saling bertaruh, siapa di antara kami yang paling keras berteriak. Aku
pun bertaruh pada diriku sendiri, siapa yang paling keliru bahwa hujan akan
turun selamanya.
Tentu
saja aku yang menang. Di hari pemakamanmu, aku pulang paling terakhir dan
menumpahruahkan segala air mata yang kupunya. Hebatnya, hujan di mataku lebih
deras dari hujan yang turun di langit. Untuk itu, aku berhak untuk menikmati
rintik yang membasahi segara kehilanganku lebih lama lagi.
Satu
hal yang tak kusadari: aku kalah pertaruhan dengan diriku sendiri. Karena pada
akhirnya, matahari memutuskan pergi dan takpernah kembali. Karena itu tolong,
berhentilah. Jangan lari lagi.
Biarkan
aku menyelesaikan perjalananku dan setelah itu kita akan berlari lagi.
Jakarta,
20
April 2017
0 comments:
Post a Comment