Aku
tidak bisa menentukan kata-kata yang tepat ketika kakiku sudah sampai di depan
bandara dan kamu mengatakan jangan pergi. Gila, kataku membalas pesan teksmu
itu. Takdir memang suka bermain dengan perasaan kita. Bukankah, sekian lama
kamu menganggap apa yang terjadi di antara kita lelucon belaka? Hanya permainan
kata yang kita lontarkan selepas sekolah di siang hari?
Aku
telah pergi. Kamu memintaku bertahan. Di pintu keberangkatan, aku memaki diri
sendiri.
***
Apa
yang membuatku mencintaimu, Mi? Tanyaku pada diri sendiri pada suatu malam.
Setelah gempa yang memporakporandakan Padang—kota di pesisir itu—dan membuka
celah kepada seluruh penyedia layanan telepon untuk memberi akses pesan teks
gratis tanpa batas. Gempa itu yang mendekatkan kita, sepasang manusia yang
malu-malu untuk saling bicara.
Sebenarnya
aku yang malu. Bila orang-orang membaca cerita remaja dan membicarakan tentang
lelaki tampan dan jago olahraga; aku ialah anomali dari cerita tersebut. Hanya
seorang lelaki yang senang berdiam diri di kelas, mampu berteman sekenanya, dan
berusaha keras untuk menyamankan diri dengan keramaian kelas.
Kamu?
Aku tidak perlu bertanya kepada lelaki lain di kelas ini untuk mengatakan bahwa
kamu sempurna. Lucu? Berlebihan? Persetan dengan yang mengataiku seperti itu.
Bukan urusan mereka menilai kehidupan orang. Aku pernah bertemu (dari kejauhan)
gadis sepertimu, tetapi tidak semeyakinkan dirimu untuk menggundahkan
perasaanku. Ada yang berbeda sejak pertemuan pertama di saat kita tak sengaja
berpapasan di dalam kelas di hari pertama sekolah menengah ke atas.
Aku
tidak mampu menjawab pertanyaanku sendiri. Semua terjadi begitu cepat. Sesaat,
hatiku seakan mengatakan ‘Ya’ padamu di momen itu. Ketika bola mata gelap kita
saling bersitatap dan dalam diam seakan kita sama-sama tidak mengira momen ini
akan terjadi. Aku diam di sepanjang waktu, sampai kamu berlalu sepulang
sekolah, dan sepuluh hari lamanya setelah itu: aku tidak tahu namamu.
***
“Kapan
berangkat?” tanya Riyan, lelaki berkulit sawo matang dan berkacamata, bertanya
padaku ketika wali kelas hendak mengajak anak-anak kelasnya (sepuluh setrip
delapan) untuk berfoto bersama.
“Besok,”
jawabku singkat.
Sejak
sebulan lalu Ibu dan Ayah memang bilang bahwa kami semua akan pindah ke
Jakarta—kota kelahiranku. Nenek yang harus cuci darah sementara Kakek harus
menjaga toko di Tanah Abang itulah yang menjadi alasan kuat mengapa pergi dari
kota ini menjadi logis. Sementara aku masih memiliki urusan yang belum selesai
di sini—kamu.
Di
antara semua teman, hanya dua orang yang mengetahui rahasiaku: Riyan dan
Fauzan. Beda dengan Riyan, Fauzan merupakan seseorang lelaki yang gemar meledek
teman-temannya (termasuk aku) namun memiliki nilai paling tinggi kedua di
kelas. Siapa yang pertama? Aku tidak perlu mengatakannya, atau Fauzan akan
semakin kencang mengejekku karena kecemburuannya.
Semua
anak kelasku berfoto di dalam aula utama sekolah. Sebuah gedung dengan luas dua
kali lapangan futsal dan memiliki sebuah arena panjat dinding di salah satu
sisinya. Dinding-dinding putih yang melapisi aula ini telah mengikis dan dengan
kesesakan di saat seperti ini, anak-anak dan orang tuanya saling berseliweran
dan berbincang-bincang, udara sedikit terasa sesak dan gerah.
Mataku
mencerap, mencari-cari sosok seseorang yang ternyata tidak datang. Kamu. Ada rasa kecewa yang singgah di
dada sebelum akhirnya aku hanya bisa melenguh dan diam saja. Riyan dan Fauzan
tidak perlu bertanya mengapa karena mereka sudah tahu jawabannya.
“Ami
udah pulang duluan. Kau telat datang.”
Fauzan
berbisik padaku di barisan belakang. Lalu terdengar aba-aba dari perempuan
seumuran dengan wali kelasku dan kemudian kami semua di barisan ini tersenyum
dan muncul kilatan cahaya dari kamera yang dipegang perempuan pemberi aba-aba
tadi.
“Kau
yakin tidak ingin memberitahunya lagi?” Fauzan menceletuk lagi selepas berfoto.
“Aku
sudah bilang dari sebelum ujian kemarin. Dia cuman tertawa dan menganggap aku
bercanda.”
Aku
mengatakannya tanpa ekspresi apa pun. Apa yang terjadi di antara kita sungguh
rumit. Dan aku belajar banyak tentang keegosian seorang perempuan dari kamu.
Tentang bagaimana mereka menilai hubungan tanpa memikirkan perasaan sang lelaki.
Tentang mereka yang berpura-pura bilang bahwa kita baik-baik saja padahal kamu
ingin sesuatu yang lebih.
Jadi
apa? Tiba-tiba entah mengapa aku seakan menuli detik ini.
Tentang
namamu, aku mengetahuinya sepuluh hari setelah pertemuan tidak sengaja kita.
Kok, lama sekali? Ya, Takdir senang mempermainkanku. Tepat hari ketiga, aku
terserang penyakit demam berdarah yang membuatku harus berdiam diri di rumah.
Di saat teman-teman sudah saling mengenal, aku masih berbaring lemah, melalui
ketakberdayaanku.
Tepat
di hari kesepuluh aku kembali masuk sekolah selaiknya anak baru yang tidak
mengenal apa-pun; seakan masuk ke suatu tempat yang tak kuinginkan. Seperti
neraka. Aku benci keramaian yang asing. Sosokmu yang tiba-tiba datang dan
menagihku kas kelas. Aku terbata ketika itu. Sungguh lucu, dan kulihat namamu
yang tersemat di baju seragam sekolah kita. Hari itu, setelah mengetahui
namamu, aku memutuskan untuk mencintaimu.
Diam-diam. Dalam-dalam.
Lucu?
Berlebihankah? Persetan dengan mereka yang suka menilai kehidupan seseorang.
Nilai saja hidup kalian sendiri sebelum mengomentari kehidupan orang lain.
“Hei,
kaudengar, tidak?” kata Fauzan sedikit cemas. Dia menggosok-gosokkan hidungnya yang
tajam itu.
Aku
terkesiap. “Apa?”
“Wah,
ada yang salah dengan anak ini,” celetuk Riyan. Dia mengacak rambut ikalku dan
membuatnya jadi berantakan.
“Aku
bilang tadi, kauhubungi lagi saja si Ami. Mungkin kali ini dia mengerti.”
Aku
mengusap wajahku berulang kali dan mengangguk pada Fauzan. Entah apa yang
terjadi pada diriku barusan. Ingatan tentangmu di masa silam sungguh membajak
pikiranku dan menulikan dari apa pun. Fauzan dan Riyan memandangiku dengan
cemas.
“Ya,
nanti, deh,” kataku. “Terima kasih, bro
bro semua, sudah menjadi teman mainku selama satu semester ini.”
Kami
berusaha menahan diri untuk tidak saling meneteskan air mata. Meskipun hanya
satu semester di sekolah ini, aku begitu senang berteman dengan mereka.
Keduanya tidak jago main basket. Jadi, ini bukanlah cerita remaja tenar.
Tetapi, kami melalui enam bulan dengan hal-hal yang seru dan menyenangkan.
Aku
berpamitan sekali lagi pada mereka dan bergegas meninggalkan sekolah yang masih
dipenuhi oleh orang tua murid dan juga anaknya. Hari ini, Sabtu, aku menerima
rapor akhir semester pertama di SMA.
Hari ini Sabtu, ialah hari terakhir aku
menikmati kota Padang.
***
“Rere mau jadian sama Ami?”
Aku terdiam membaca pesan teks itu.
Kami bukanlah sepasang manusia yang butuh keromantisan di tengah deras hujan
dan sodoran bunga untuk menanyakan perasaan. Aku tidak mempersiapkan semacam
itu dan kamu tiba-tiba menanyakannya.
Aku gelagapan.
“Aku mau, sih ... menurutmu
bagaimana?”
Ada jeda sesaat. Aku sedang
tidur-tiduran dengan malas di dekat kolong kasur sebelum akhirnya pesan teks
darimu itu memberiku semangat lagi untuk bangkit dari kemalasan ini. Aku baru
saja pulang sekolah dengan pakaian seragam masih melekat di tubuh. Ibu sudah
teriak-teriak dari dapur di belakang untuk segera bersih-bersih dan makan
siang.
“Aku, sih, tergantung kamu ....”
Deg. Aku tidak pernah sampai pada
tahap ini sebelumnya. Perasaanku yang semula hanya bisa mengendap-endap di
balik matamu, ternyata kini telah sampai di dadamu. Dan kemudian menjalar ke
bibir dan jemarimu hingga lahirlah pesan teks itu.
Kepalaku mulai amburadul. Pikiranku
ke mana-mana. Mengawang ke kemungkinan-kemungkinan yang terlalu bodoh untuk
dibayangkan.
“Terserah kamu, sih ....”
Dan balasan itu ternyata menjadi
klimaks dari segala kebodohan karena setelah itu yang terjadi adalah kita tidak
pernah menyepakati perasaaan dan setuju terus melaju sebagai teman. Perasaan
itu seperti memantul-memantul di dinding ketidakberaniaan dan menggemakan
kebodohanku.
Sejak hari itu, aku mencintaimu
dalam kenyataan yang pura-pura. Kamu mengatakan tidak dan kemudian kita terus
bicara seakan kamu mengatakan “ya”. Rumit? Iya, rumit. Hanya denganmu aku tidak
bisa menjadi sederhana. Karena mencintaimu, tidak bisa sesederhana itu.
Karena mencintaimu, aku harus
membunuh keinginanku untuk membersamaimu.
***
Malam
sudah tiba di langit. Datang dengan percaya diri dan bintang-bintang berpendar
di tubuhnya. Malam terakhir di kota penuh kenangan ini kuhabiskan dengan
mengirimi pesan teks kepada teman-teman untuk berpamitan.
Kota
kecil ini akan segera menjadi kenangan di dalam hatiku. Kota yang mengajarkanku
tentang kehidupan—dengan gempa yang terus terjadi—dan segala yang membentukku
seperti ini sekarang. Kota dengan deburan ombak yang pernah kunikmati ketika
menikmati makan siang di belakang sekolah dasarku. Kota dengan pesantren kilat
di bulan Ramadan yang membuatku menjadi religius selama satu bulan itu.
Sedari
tadi kamu terus mengirimkan pesan teks yang berujung pada kesedihan. Api telah
membakar dadanya. Dia merutukiku yang tidak memberitahunya tentang kepergianku
esok pagi. Jadi yang salah siapa?
Aku
telah memberitahu sejak sebulan lalu dan kamu terus bersikeras bahwa itu
lelucon.
Kini,
setelah semua itu tersapu dan hidup di matamu sebagai kebohongan, aku yang
menjadi kambing hitamnya. Lima pesan teks kukirimkan untuk menjelaskannya dan
kamu hanya ingin aku mengatakan bahwa akulah yang tidak pernah memberitahumu.
Sekarang
pukul sembilan malam. Ibu dan Ayah sudah tidur duluan. Abangku di kamar sebelah
asyik dengan Playstation-nya. Aku
memejamkan mata sejenak. Tuhan, apa yang harus dilakukan untuk memadamkan api
di dadanya?
Aku
tidak pernah mengerti denganmu. Setelah sepakat untuk tidak melalui jalan yang
sama, ternyata kita membangun jembatan di antara perbedaan jalan di setiap
langkah; sehingga apa pun langkahnya, kita akan selalu bisa menyamakan diri.
Terkadang, aku menganggap kita selaiknya sepasang kekasih. Namun, kutepis
karena itu adalah sebuah kemustahilan yang akurat.
Aku nggak tahu mau ngomong apa lagi,
Re. Apa masih mungkin kita bertemu lagi?
Sejujurnya,
seharusnya akulah yang menulis pesan teks seperti itu. Kamu mengirimiku pesan
teks lain. Dari pesan barusan, tampak api sepertinya sudah padam dari dadamu.
Kamu jahat. Pokoknya pergi nggak bilang
itu jahat. Udah itu aja.
Rasanya
ingin membanting ponsel ini seketika bila tidak ingat aku takpunya uang cukup
untuk menggantinya. Sudah tidak ada kata-kata lagi yang bisa kususupkan di kepalanya
untuk memperbaiki pikirannya itu.
Aku
kian melemaskan diri di atas kasur, menghamparkan ponsel di sebelahku dengan
layar yang masih menyala—berisi pesan darimu. Kasur yang bersepraikan gambar
Naruto itu. Andai waktu tidak kaku
dan bisa memutar diri dengan sendirinya. Andai tanggal mau belajar cara berjalan mundur.
Malam
kian pekat. Kipas angin di kamar kian mendayu dan kuputuskan untuk tidur saja.
***
Aku
membuka ponsel itu lagi ketika sedang duduk di ruang tunggu. Keluargaku
mengambil posisi di sudut kanan, tepat di paling depan—seberang kaca yang
melapisi kami dengan koridor menuju kabin pesawat. Membaca pesan teks yang kamu
kirimkan ketika di depan pintu keberangkatan tadi.
Jangan Pergi.
Dua
kata yang memelesat ke dalam pikiran seperti kilatan petir. Keramaian ruang
tunggu, yang penuh dengan berbagai macam manusia yang mengangkut kesibukan dan
urusan masing-masing, yang bising oleh suara-suara kerinduan atau kecemasan
pada apa yang mereka tatap atau bicarakan di ponsel, dan juga detail-detail
yang takpenting kuperhatikan.
Pikiranku
fokus pada dua kata itu. Di sepanjang perjalanan dari konter check in sampai ruang tunggu, tiada yang
bisa mengusir pesan darimu itu. Di sepanjang eskalator, pertokoan, hingga di
depan ruang tunggu, aku masih menimbang untuk membakar tiket pesawatku dan
pergi menemuimu.
Namun,
di setiap perasaan mencintai, terkadang manusia harus mengambil resiko. Bahwa
bisa saja perasaan cinta itu membawa mereka ke jalan yang salah—yang mereka pikir tadinya benar. Tetapi,
aku lebih suka menyebutnya sebagai konsekuensi. Aku bukan Rangga yang di langkah
terakhirnya ditemui Cinta dan mendapatkan perasaan yang dia mau.
Tunggu,
jangan-jangan bila aku membalas pesan ini kamu akan datang mengejarku?
Memangnya kamu lagi di dekat sini?
Tanganku
bergemetar sendiri. Ibu yang mengawasiku sedari tadi di bangku sebelahnya dengan
cemas bertanya apa yang terjadi padaku. Tentu saja aku tidak mengatakan
tentangmu padanya. Ayah dan abangku sedang pergi ke toilet.
Ibu
bertanya sekali lagi dan aku kembali menjawab semua baik-baik saja.
Sejujurnya
aku berbohong. Tidak, Ibu. Aku tidak baik-baik saja. Ingin rasanya angkat kaki
dari sini, berlari ke belakang, menambah kecepatan melewati toko demi toko,
meluncur di sisi eskalator, dan memanggil taksi untuk pergi ke rumahmu dan
mengatakan,
“Aku tidak ingin pergi dari hidupmu.
Tidak, aku terlalu lemah untuk melakukan itu. Dan aku terlalu kuat untuk
mencintaimu.”
Dan
nyatanya, lidahku kelu. Mengunci dirinya sendiri dari kejujuran perasaan
padamu. Langkah kakiku kian berat, setelah burung besi besar ini mengepakkan
sayapnya, menerabas udara, dan membawa semua ingatanmu pergi—gugur satu-satu ke bawah. Melihat awan
ini sungguh bodoh, seakan bentuknya menyerupai wajahmu. Ya, anggap saja aku
mulai menggila.
Langit
ini ialah luasnya perasaanku padamu—pada lautan kenangan yang tiada ujungnya.
Karena kamulah, samudra perasaan yang akhirnya kuseberangi. Dan aku ingin
berlama-lama di seberang sana, di tanah yang subur oleh rindu-rindu yang telah
kupupuk selama ini.
Namun,
dinginnya pesawat hanya mampu menjadi selimut dari dadaku yang tiba-tiba mulai
merindu. Aku tidak peduli Riyan dan Fauzan selalu mengataiku lemah, meskipun
maksudnya baik untuk mendorongku menjadi berani. Hanya Tuhan yang boleh menilai
kuat dan lemah. Manusia tidak punya kuasa untuk itu, kecuali yang dinilai itu
sendiri—selain Tuhan.
Entahlah,
aku hanya ingin meredakan rindu ini dan mencairkan dingin menjadi hangat. Aku
mengeluarkan ponsel (dalam keadaan tanpa sinyal) membaca pesan terakhir tadi
sekali lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan, dan bersama
helaan terakhir, aku menghapus pesan teks itu dan lainnya yang berasal darimu.
Langkahku
sudah kian jauh. Sudah tiada apa pun lagi yang akan membawaku kembali ke kota
itu. Tidak untuk yang berikutnya lagi. Memang benar, tidak selamanya mencintai
harus memiliki. Entah orang-orang percaya nggak percaya, itu bukan urusanku.
Dan kemudian, aku memutuskan untuk memejamkan mata; berharap setelah bangun
nanti dan menginjakkan kaki di Jakarta, kenanganmu telah usai.
Untuk
melupakan sesuatu, terkadang kita harus mengingatnya sekali lagi.
Untuk
melupakan selamanya, terkadang kita harus membunuh perasaan itu sendiri.
Nb: cerita ini dikembangkan dari
kisah aslinya. Alur mengikuti aslinya dengan sedikit modifikasi. Bila terasa
tidak luar biasa, santai saja. Karena kisahku memang tidak pernah seluar biasa
kalian.
0 comments:
Post a Comment