Aku
pernah berjanji di masa lalu, untuk taklagi jatuh di perasaan yang sama. Darimu
aku belajar bahwa ketika kepergian itu nyata, masih ada jejak-jejakmu yang
tertinggal di dalam dada dan kenangan. Takbisa dikikis dengan apa pun; kecuali aku
memutuskan untuk mencintai seseorang lain.
Karena
pergi tak selamanya menghilang. Seperti yang kukatakan di Desember lalu dalam
sebuah prosa berjudul Perpisahan Kecil, yang namanya pergi mungkin hanya
tersapu dan terlupakan.
Tapi
setelah tujuh tahun aku hanya menatapi potretmu dari hari ke hari, dari satu
foto ke foto lainnya, aku sadar jika abu-abu takhanya ada di langit saja. Di
dalam tubuhmu, kutemukan warna itu menyelimuti, seakan mencegahku untuk
mengetahui seperti apa rasanya menjadi kamu.
Karena
di dalam dirimu, tak kutemukan jejak yang kutinggalkan. Mungkin kita memang
sudah berbeda. Untuk itu, aku taklagi ingin jatuh di perasaan yang sama. Aku
taklagi ingin menunggui seseorang yang kupikir sudah benar-benar hilang dari
hidupku. Tapi, separuh dari diriku berkata bahwa aku salah. Bahwa tak
seharusnya aku berhenti dan tetap menunggumu. Separuhnya lagi memilih
takpeduli.
Di
antara jarak kita yang sudah semakin dekat dan kamu (tetap) tak menyadari
keberadaanku, kepergian mungkin memang sesuatu yang harus diikhlaskan. Tak
selamanya hati harus bertahan. Adakalanya dia harus memaafkan masa lalu dan
menatap sesuatu yang baru.
Entahlah,
setelah empat bulan aku terjatuh dalam kenangan tentangmu, kini sepertinya
memang sudah waktunya untuk menutup buku bertuliskan namamu, dan membeli buku
yang baru untuk ditulisi nama seseorang lainnya.
Bogor,
7
Januari 2017
0 comments:
Post a Comment