Hari ini, aku menuliskan surat di
tengah alunan air mata langit. Mungkin, sayap putih yang takpernah kumiliki
takkan membawaku ke peraduanmu. Tapi, aku harus menyampaikan sesuatu. Lima
belas tahun lalu, ketika Kau datang singgah ke rumah dan ingin bertemu Ibu, aku
takpernah sadar jika ternyata Kau di sana untuk mengambil ia.
Dan ketika akhirnya kita bertemu
kembali, aku sungguh terkejut membaca surat perihal alasan kedatanganmu.
Mengapa takdir menginginkanku dewasa lebih cepat? Apa salahku? Apa salah Ibu?
Dan ketika kamu mengatakan jika ada
rahasia-rahasia yang disembunyikan Takdir dan aku takpunya wewenang untuk
mengetahuinya, aku hanya tersenyum getir.
Duhai Kehilangan, aku belajar
beberapa hal dari kepergian Ibu. Bagaimana sakitnya ditinggalkan orang yang
kucintai bahkan sejak masih belum hadir di dalam dunia ini. Seseorang yang
dijanjikan Tuhan ketika aku masih berada di dalam ruh untuk kemudian
melindungiku apa pun yang terjadi. Aku belajar bagaimana caranya untuk
melepaskan dan mengikhlaskan.
Keduanya tidak pernah menjadi hal
mudah, duhai Sang Kehilangan.
Kau tahu? Lima belas tahun lalu aku
memutuskan pergi. Ke rumah Paman dan Bibi, lalu kemudian memilih kuliah ke
tempat yang jauh sehingga aku bisa menyelami kehilanganku sendiri. Aku
menyelami dirimu, duhai Kehilangan. Aneh, ya?
Rasanya begitu gelap, persis ketika
Kau datang ke kamarku lima belas tahun lalu dan bercerita soal cinta Ibu dan
bintang yang menggantung di atas langit malam. Saat aku tinggal sendiri, aku
merasakan betapa pahitnya menatapi cinta yang tergantung di atas, namun tak ada
lagi sesiapa yang bisa kupersembahkan cinta itu.
Aku marah! Sangat marah! Dan aku
takbisa melewati tetiap malam memikirkan Ibu. Lima tahun, waktu yang kuhabiskan
tinggal berjauhan, sendiri, dan kemudian menyelami perihal kepergian. Aku
membencimu, Kehilangan. Aku benci mengapa Kau datang ke rumah waktu itu. Sepuluh
tahun tinggal dengan Paman dan Bibi tak membuatku paham.
Setelah sendiri, aku mengerti.
Pelan-pelan, setelah aku bertemu dengan orang-orang yang juga Kaudatangi
rumahnya, taklagi ada lambaian api di dalam dada. Sebaliknya, teduh. Seakan aku
mengerti bagaimana rasanya menjadimu. Rasa itu tenang begitu saja. Untuk itu,
aku memutuskan dua hari lalu kembali ke kota di mana semua kenanganku sengaja
ditinggalkan. Setidaknya, sebagian besar. Dan di sanalah kerinduan itu buncah,
tumpah ruah di seluruh kepala dan dada.
Duhai Sang Kehilangan, aku mengerti
alasanmu melakukannya. Aku hanya ingin Kau tahu jika aku memaafkanmu kini.
Suatu waktu nanti, mungkin kita akan bertemu kembali untuk membawaku pergi.
Untuk itu, aku akan mempersiapkan pertemuan kita kelak sebaik-baiknya. Semoga
surat yang kutitipkan pada hujan ini akan sampai ke tempatmu. Kamu bisa
menemukannya di tempat terakhir kita bertemu.
—dari aku, untuk empat puluh tahun
yang akan datang—
0 comments:
Post a Comment