Demi
detikdetik yang memanggil namaku, demi ranggasranggas dedaunan, aku bergumam
pada diri sendiri bahwa menunggu memang menyesakkan. Bahwa menunggu adalah
sulit dilakukan jika hati takkuat dan enggan bertahan.
Penantian mengajariku beberapa hal. Perihal menguatkan hati, berjagajaga dan takpergi, dan selalu peduli. Tak ada yang pasti dari menunggu. Seperti rindu yang kulontarkan diamdiam, namun kucipta dinding dingin sebagai pemisah di antara kata aku dan kamu: cinta.
Perihal
berjagajaga untuk takpergi, barangkali kamu akan datang sebentar lagi, atau
entah kapan waktu mau mengabari. Bisa jadi ketika aku taklagi percaya pada
detik yang terus bergulir, kamu datang dan taklagi ada namanya pertemuan.
Perihal
peduli pada apaapa yang bisa saja terlewati jika aku tak di sini. Perihal ingin
yang menjelma angan. Perihal harapan yang berujung kehilangan. Ada banyak
kemungkinan yang takpasti dan untuk itu aku harus bersiap: kepulanganmu, aku
menunggu. Ketiadaanmu, aku takbisa. Menjadi peduli dengan sesuatu yang kuharap
tadinya ada namun kini tiada.
Di
bangku kayu stasiun kereta, bangku taman pinggiran kota, bangku tua perpustakaan,
di mana pun dulu pernah ada kamu, aku menunggu.
Sekalipun almanak terus bergulir, hingga angka berganti dari satu
menjadi sembilan, tak jua kutemukan kereta yang mengantarkan kepulanganmu
datang.
Tak
kulihat kepulan asap pekat kecokelatan di kejauhan atau bising laju kereta yang
bergesekan dengan temali besi: tak kutemukan kamu kembali ke tempatmu
meninggalkanku. Mungkin, aku, manusia yang enggan berpindah meski detik tak
kunjung mengabari.
Mungkin,
suatu hari nanti bisa saja hanya suaramu saja yang bisa kudengar; menari di
atas kenangan bernama masa lalu. Mungkin saja ... mungkin saja ... aku masih di
sini menunggumu.
0 comments:
Post a Comment