Aku
mencintaimu dengan cara yang tak disangka-sangka. Dengan rindu yang tak
ditunggu-tunggu. Karena untukmu, aku cukup menjadi sederhana. Cukup menjadi
angin yang tahu segala tentangmu, dibisiki oleh dedaunan yang gugur, lalu pergi
ke mana pun kuingin: sebelum menguap menjadi angan.
Aku
mencintaimu dengan cara yang kaupikir takpernah nyata. Dengan jarak yang tak
diduga aku ada di sana. Karena untukmu, aku cukup menjadi sederhana. Cukup
menjadi hujan, jatuh membasuh kering tanah, lalu basah di dasar perasaanmu:
tumbuh subur menjadi kata “kita”.
Namun
rupanya, mencintaimu tidak semudah yang kukira. Mungkin, jeda adalah batas di
antara kita. Atas almanak yang kian berganti, atas gelak tawa di antara
kesepian, ada rasa-rasa yang ingin kupendam saja. Di antara reranting rindu
yang menusuk-nusuk jiwa.
Katanya,
cinta itu indah, menyatukan sepasang manusia yang saling mengerti dan mau
memiliki. Tanpa sekat, tanpa pertanyaan: perihal mengapa semua hal itu bisa
terjadi. Tapi denganmu, aku berbeda. Denganku, kau takbisa. Entahlah, rasanya
menjadi sederhana untukmu, takcukup membuatmu sadar bahwa di antara orang-orang
yang berbaris menantimu, ada aku di sana. Ternyata aku taksanggup menerabas
dinding-dinding tebal yang kian dingin.
Di
antara jejalanan basah karena hujan semalaman ini, tak kautemukan jejak-jejak
rasa yang kutinggalkan. Yang kautemukan hanya sebuah album foto tentangmu.
Tentang angin yang mengetahui rahasiamu. Tentang hujan yang membasahi kering
perasaanmu. Tentang seseorang yang ada di dekatmu, tapi kau taktahu jika dia
selalu ada kapan pun kau butuh angin dan hujan untuk meneduhkan.
Dan
untuk itu, aku taktahu kapan harus berhenti dan menyerah. Separuh diriku
berpura-pura lelah, sementara separuh lainnya berpura-pura untuk melanjutkan.
Seperti berada di persimpangan jalan antara bertahan atau melepaskan. Dan aku
harus memilih.
Harusnya kau yang berdiri di
persimpangan jalan itu, bukan aku.
Bagaimanapun
juga, aku masih di sini, menunggui jawaban yang takkunjung datang.
0 comments:
Post a Comment