Pertanyaan
itu muncul pagi ini, saat kesekian kali aku menatap potretmu yang semakin
menyesakkan dari hari ke hari. Seorang kawan berkata, buat apa menunggu “dia”
yang bahkan sudah membakar namaku di parit kehilangan? Dan ya, perihal enam
tahun yang kulewatkan untuk seseorang yang menjelma deras hujan tetiap malam.
Dan ya, juga perihal dua tahun untuk seseorang lain yang diam-diam
kuselundupkan rindu dalam-dalam.
Untuk
keduanya, aku terjatuh di persimpangan jalan; jejalanan sepi dan sunyi, namun
harus kulalui. Untuk keduanya, aku terjatuh dalam samudra perasaan yang
akhirnya kuseberangi. Akan tetapi, aku salah menerka, jika ternyata samudra itu
adalah lautan luas yang ketika kuselami tiada ujungnya.
Kawanku
tergelak, ketika di suatu pagi yang lalu, kuceritakan bahwa dengan dua orang
berbeda ini aku jatuh merindu. Dia tidak menertawaiku, tapi menertawai Takdir.
Yang dengan sesukanya mempermainkan dinamika konflik cerita pendek bernama
kehidupan. Di tempat yang berbeda, di waktu yang berbeda, aku jatuh dalam
perasaan yang begitu dalam.
Hanya saja, satu hal yang sama: aku
menunggu.
Sampai
suatu hari, kutemukan siang taklagi terik dan malam taklagi dingin. Di hari
itu, semua kosong; hampa. Tak ada sesiapa. Kuberlari tanpa arah, berharap ada
tujuan yang bisa disinggahi. Namun sia-sia. Jalan yang kulalui hanya sebuah
jejalanan lurus nan panjang yang bermuara di persimpangan jalan.
Lagi,
jalan yang sama dengan sebelumnya.
Tunggu, apakah aku bermimpi?
Entahlah,
di persimpangan itu aku harus memilih. Untuk enam tahun yang kutunggui atau dua
tahun yang terus ingin kusinggahi. Keduanya seakan menuntutku untuk menetapkan
pilihan. Demi sepotong senja yang kurindukan kehadirannya, aku takbisa memilih.
Aku
bahkan taktahu untuk apa aku masih menunggui keduanya. Nyatanya, mereka
takpernah sadar perihal keberadaan diri ini. Apakah sudah waktunya aku harus
berhenti? Mencari jalan baru untuk dilalui? Kenangan itu terus berkelindan di
dalam ruang-ruang pikiran yang terus saja memanggil nama keduanya. Melirihkan
satu per satu rasa sesak yang meranggas dada.
Maka
pagi ini, pertanyaan itu takberhenti meliuk di dalam kepala. Berharap tanda
tanya memudar dan berubah menjadi jawaban. Di hadapan hujan yang kian menderas,
aku berdoa: semoga Tuhan menunjukkan apa-apa yang harus kutapaki, agar tak
terjatuh di persimpangan jalan yang sama lagi.
Inikah waktunya untuk merasa lelah
dan menyerah?
Sekali
lagi, entahlah.
Hanya
teduh hujan yang menerabas dinding-dinding keraguan dan membasahi kering
harapan di dalam dada.
Menerabas
ketidakpercayaan diri untuk berani menentukan: apakah aku harus berhenti atau
betahan.
0 comments:
Post a Comment