Photo by Milada Vigerova on Unsplash |
Aku pernah berkata untuk tidak menulis
tentangmu lagi. Setelah detik yang membenciku kian menegaskan bahwa kamu
benar-benar akan menghilang. Kata-kata yang memenuhi dinding kamarku hanya
menjadi penghias belaka tanpa pernah sampai maknanya.
Aku pernah berkata bahwa aku telah menyerah.
Menyiapkan langkah satu-satu dan kini segalanya
pun gugur satu-satu. Tiada harapan lagi yang bisa ditanam. Aku pernah
menunggumu untuk waktu yang lama dan itu bukan sesuatu yang mudah—bukan sesuatu
yang bisa dilepaskan.
Sesaat ketika kedua mataku menatap segurat
senyummu itu—senyum yang tidak pernah berlabuh di perasaanku, sesaat itu pula
aku tahu bahwa segalanya kelak akan membunuh seisi penghuni dadaku. Senyum itu,
senyum yang berlabuh di wajah lelaki pilihanmu. Dengan sebuah tanda yang
tersemat di jemarimu; sebentar lagi aku bahkan tidak akan pernah bisa membunuh
waktu untuk menunggu lagi.
Semuanya telah usai. Aku telah kalah. Oleh air
mataku sendiri. Oleh penyesalan yang paling disesali.
Mungkin kamu tidak tahu, bahwa kehadiranmu
menjadi obat penawar luka dari masa lalu yang pernah membuatku nyaris melupakan
seperti apa bahagia. Kamu menjadi caraku belajar perihal menjaga langkah dan
perasaan, karena takdir tidak pernah menautkan kedua perasaan kita. Perasaan
yang kelak akan kumakamkan segera di dasar kenanganku yang paling gelap.
Namun, tiada yang bisa menebak ke mana waktu
akan membawaku pergi. Pada akhirnya, kamu yang memilih pergi, dan aku tetap
sendiri. Sederhana, bukan?
Aku hanya bisa tersenyum getir. Menertawai kebodohan.
Dulu aku pernah berkata, untukmu, aku rela menjadi bodoh. Dan kini, kata-kata
itu memantul dan melahirkan sesak yang begitu dalam.
Jakarta,
30 Juni 2018
0 comments:
Post a Comment