photo by Johannes Plenio (unsplash) |
Kita dulu sekali
pernah menjadi sepasang remaja yang mencari tahu perihal makna cinta, lalu
diam-diam menafsirkannya sebagai sebuah ikatan tanpa pernah diucapkan.
Kepergianku Sembilan tahun lalu menjadi suatu titik di mana kau meragu, lalu
menuduhku yang pergi meninggalkan.
Aku belum
mencintai hujan dan senja ketika itu.
Aku masih
mencintaimu seutuhnya.
Bahkan, ketika
kamu sudah menegaskan untuk melupakan, aku selalu menanamkan harap bahwa itu
hanyalah sebuah ilusi; hanya canda tawa darimu yang berusaha menjadi lucu. Aku
tahu kamu senang sesuatu yang bisa membuatmu tertawa. Itu yang kamu cintai
dariku (mungkin). Aku masih ingat lelucon-lelucon garing yang kamu sukai itu.
Aku masih ingat
segalanya. Tujuh tahun lamanya.
Sampai suatu
waktu, aku sadar bahwa kamu benar-benar telah melupakan. Menutup buku tua yang
sekian lama hanyalah berisi lembaran demi lembaran kosong¾seperti itulah perasaan
yang sisa di dadamu.
Kini, melihatmu
sudah jauh memahami perihal perjalanan hidupmu membuatku begitu bahagia.
Rasanya seperti menikmati laut di petang hari. Mendengarkan ombak, menciumi
bebauan laut yang asin namun menenangkan. Itu kamu di hari ini, membuat rasanya
masa lalu kita menjadi sesuatu yang bodoh dan konyol; aku tak menyesalinya samasekali.
Ra, bila saja
aku bisa kembali melangkah di jejalananmu, mungkin ceritamu hari ini akan
berbeda. Meskipun sesal itu tetap hidup di sana karena apa yang kutuju di muara
ini persis seperti kamu hari ini. Persis,
seperti seseorang yang kutunggui di kota Hujan setelah kamu mengusaikan kisah
kita.
Ra, di sepertiga
malam, aku menyematkan namamu di tubuh langit; semoga apa pun yang kamu
rencanakan segera mewujud nyata. Kamu bahagia, aku pun bahagia. Cukup begitu.
Jakarta,
27 November 2018
0 comments:
Post a Comment