Bila kamu bersedih lagi, percayalah
kamu tidak sendirian di bumi ini. Bila kenangan kian meranggas kehilanganmu,
percayalah kamu tidak sendiri. Gerimis yang jatuh di matamu bukan sebuah
penyesalan—melainkan luapan perasaan mendalam yang diam di danau hatimu.
Bila kamu masih merasa sendiri, mungkin kamu ingin melihat ke
sekitarmu. Pada bayang-bayang yang mungkin (takkan) pernah tertangkap oleh
kedua bola matamu yang teduh. Yang membingkai penantian tak berujung.
Kamu takkan pernah tahu, apa yang kamu rasakan, aku telah
melaluinya duluan. Kamu takkan pernah tahu, di balik kerapuhan yang mungkin
kerap kaulafalkan di setiap malam, aku kerap menguntai semoga pada yang Maha
Kuasa, agar kamu diberi kekuatan.
Kamu takkan pernah tahu. Aku telah memutuskan berhenti menunggu.
Terlepas kamu yang telah memilih seseorang yang lain bertahun-tahun lalu,
merajut bahagia dengannya sementara aku (dulu) bertahan; menunggu.
Kini, aku tidak ingin membiarkanmu tenggelam dalam kehilangan
sendirian. Tidak ingin membiarkanmu hanyut di tengah samudra kepergian yang
tiada ujungnya.
Bila akhirnya kamu menemukanku, mungkin aku akan tersenyum
padamu. Bila akhirnya kamu menanyakan kabarku, mungkin aku akan melakukan hal
yang sama padamu. Bila akhirnya kamu ingin membagikan kehilanganmu, mungkin aku
akan rela duduk di hadapanmu; tanpa mengenal detik dan tanggal hanya untuk
mendengarmu bercerita.
Bila akhirnya kamu menanyakanku perihal cara melaluinya; aku
akan katakan padamu, aku siap melupakan apa yang telah berlalu dan menjalani
perjalanan yang selama ini kuimpikan—bersamamu.
Jakarta, 8 Februari
2018 | 23.04 PM
--------
ps: aku menuliskan ini tepat ketika melihatmu tersedu melihat kepergian ibumu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Meskipun aku tahu, bahwa takmungkin tulisan ini akan sampai padamu. Tetapi, bila kelak kamu membacanya, percayalah, aku memahami kehilanganmu seutuhnya.
0 comments:
Post a Comment