Setiap
daripada kita sebagai manusia pasti pernah merasakan dekapan perasaan yang
dalam; saat perlahan rindu membasuh hati yang sebelumnya mengering, dan
menjadikan cinta itu ada. Membuat kita tak berhenti tersenyum dan tak
terkata-kata. Kita mengakui kekuatan yang ada, namun satu hal yang tidak kita
ketahui: kehilangan meringkuk bersembunyi di balik bahagia.
Kehilangan
itu yang kemudian merobek-robek perasaan. Atau bahkan, seringkali menjatuhkan
gerimis di mata. Meriak di pipi, dan terus mengalir hingga menjadi genangan
penyesalan. Bukankah kita semua pernah merasakan fase ini di perjalanan
pencarian?
Justru
kehilangan ini yang kemudian menguatkan hati; menguatkan individu dari setiap
kita. Hingga akhirnya, ada secercah cahaya meliuk ke dalam gelapnya pandangan
kita, dan menunjukkan betapa indahnya langit senja. Akan ada seseorang yang
nanti datang menghampiri, dan mengatakan, “Oh, langit senja adalah langit
terindah yang pernah ada. Dan kini aku menemukannya juga di kedua bola matamu,”
Jika
seseorang itu datang, maka percayalah, perjalanan telah berakhir. Sampan telah
berhasil terantuk di bibir dermaga yang dituju selama ini; Bahagia yang
seutuhnya. Ya, ketika dua insan manusia saling berpadu, kedua rindu menyatu, di
situlah fase akhir yang ditunggu; saling mengutuhkan separuh diri. Kelak, fase
saling mengutuhkan diri inilah yang dilakukan melalui ikrar suci di hadapan
orang-orang yang membuat bahagia. Saat seseorang mengatakan, “Saya terima
nikahnya,” dan seterusnya, dan semuanya kemudian mengatakan, “Sah!” maka saat
itulah waktu terasa berhenti berputar.
Aku dan kamu menjadi kita. Untuk
dekapan perasaan yang akan mengukir abadi.
Sayangnya, hari ini aku hanya bisa mengucapkan, "Selamat menempuh hidup baru. Semoga samawa, ya, dengan, dia."
---
Sebuah prosa perihal bagaimana merajut
bahagia dari hal sederhana
---
0 comments:
Post a Comment