Sampai
kapan aku harus menunggu?
Semua
kata-kata di kepalaku sudah menjadi debu di dinding yang membatasi perasaan
kita. Kamu masih tidak memberikanku jawaban apa-apa. Perjalananku berhenti di
kamu. Aku tidak tahu apakah ini sementara atau selamanya. Seharusnya yang
kedua. Tapi kamu menjadikannya pilihan yang pertama. Kamu diam tanpa suara.
Sampai
kapan aku harus menepis detik dan tanggal?
Dari
jarak yang membuatmu tak menemukan aku, satu persatu rindu kuselipkan di saku
jaketmu setiap hari. Berharap kamu mau merogohkan tangan ke dalamnya. Tapi
nyatanya kamu tak menyentuh saku jaket itu sama sekali. Entah kamu
mengetahuinya dan memilih untuk takpeduli atau kamu memang takpeduli dengan apa
pun.
Tetiap
senyum yang kamu lengkungkan di bibir itu, tetiap tatapan teduh yang kamu
labuhkan di mataku, membuatku terus mempelajari astronomi hanya untuk memastikan bahwa semesta ini
menjadi berbeda sesaat kamu mulai mengisi ruang kosong di hatiku.
Coba
katakan padaku, bagian mana yang logis ketika seorang manusia didekap perasaan
yang begitu dalam pada seseorang yang ditunggunya selama ini?
Semuanya
berbeda. Termasuk semestaku. Dan itu karena kamu. Maukah kamu duduk bersamaku,
menikmati cangkir teh hangat dan menjelaskan bagaimana caramu melakukan itu
kepadaku?
Tapi
rupanya, aku hanyalah lelaki bodoh yang hanya bisa bertanya ‘sampai kapan?’
tanpa mau mengatakan satu kata pun perihal isi perasaan.
0 comments:
Post a Comment