photo by RS |
Kamu
membasahinya begitu deras dengan kehangatan, tapi tetap saja perasaanku kosong.
Pagi ini, aku yang sengaja melupakan tidur demi menikmati tiap kata-kata yang
ingin kukirimkan padamu melalui surat kertas yang kulipat menjadi pesawat
kecil. Pesawat itu hendak kuterbangkan dan mendarat di atas sampan tempatmu
mendayung di atas lautan.
Melihat
langit pagi ini, aku teringat warna pipimu saat memalu kala dulu pernah tidak
sengaja kukatakan bahwa malaikat itu bukan makhluk tak kasatmata yang takbisa
dilihat siapa pun. Kamu berlalu dan meninggalkan pertanyaan di benakku.
Apakah
saat itu kamu tersenyum dengan ketidasengajaanku atau kamu justru membencinya?
Karena
mulai detik itu, aku membentang jarak padamu seperti yang kukatakan tadi. Aku
mulai belajar bagaimana caranya untuk menunggu, sekalipun itu selamanya. Karena
mencintaimu, aku tidak mengenal detik dan tanggal. Perasaan itu gugur dan
mewujud kata-kata yang kutuliskan padamu hari ini. Perihal batas yang menjadi
dinding di antara kita.
Bagiku,
pagi ialah permulaan; seperti kamu yang takpernah tahu kapan permulaan dari
kata ‘kita’ itu datang, karena aku memang takjua mencipta langkah menujumu.
Detik ini, aku masih ingin menikmati senyummu dari kejauhan. Berdoa semoga
ingin tak berubah menjadi angan.
Dan kamu; embun pagi.
Lalu
aku hanya perlu bertanya, apa kabar hari ini? Semoga pagimu begitu menyegarkan.
Jikalau nanti pesawatku sampai, semoga kamu mau membalasnya.
Nb:
tulisan ini terinspirasi dari foto yang di-capture
oleh RS
nice story 😊 love it...
ReplyDelete