Aku
tidak pernah berpikir bahwa aku akan benar-benar kehilanganmu. Tidak pernah
berpikir bahwa perjalanan ini telah menemukan muara pertamanya, dan di muara
itu aku harus menatap punggungmu yang bergerak menjauh—jemarimu menggenggam
harapan yang berserakan jatuh ketika kamu menerimanya dariku.
Aku
tahu, kamu hanya ingin menjadi yakin perihal kelak siapa yang akan menakhodai
perjalananmu selepas dari muara ini. Dan aku, bukan lelaki yang tepat untuk
berlayar, berkelana bersama perasaanmu—menurutmu. Mungkin bagimu, aku hanya
seseorang yang menemani untuk menemukan muara yang dituju, setelahnya usai
sudah.
Bukan
ingin untuk tidak mampu menakhodai kapalmu. Ada banyak hal yang menyanggah
langkah untuk bisa bersegera berlabuh ke mana pun yang kamu mau. Aku butuh
waktu. Kamu mau segalanya yang tidak ada di aku.
Di
sana, kita tidak pernah menemukan persamaan.
Hingga
akhirnya, di muara itu, ada seseorang lain yang juga sedang menunggu dan kamu
memilihnya untuk berlayar bersamamu hingga akhir menjemput kehidupanmu. Aku
membeku di sini, memberikan perpisahaan paling luka, menatap punggung yang
menjauh—menenggelamkan harapanku.
Aku
tetap di sini, berharap kamu memutar arah dan kembali padaku. Tetapi, itu
sungguh bodoh. Dan aku rela menjadi bodoh untuk mencintaimu. Waktu ke waktu.
Tetapi, kamu tidak akan pernah kembali.
Dan
aku, belum menemukan alasan untuk tidak beranjak dari sini.
Jakarta,
5
Juli 2018
0 comments:
Post a Comment