Duduk
di ambang jendela ketika hujan jatuh tidak pernah bosan kulakukan.
Sebulan
setelah perjalananku ke Curug Ciampea bersama Shofia, kehidupanku kembali
berjalan dengan baik. Irene bahkan takperlu repot-repot menasihatiku perihal move on lagi. Kedekatanku dengan Shofia
sungguh membantu. Sekalipun Irene selalu mempertanyakan gadis itu, masa bodoh.
Aku tidak ingin dia merusaknya.
Punggungku
bersandar pada tiang jendela. Kepalaku sedikit terkulai, membiarkan suara dan
bebauan hujan resap ke dalam tubuh. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Siapa
yang bertamu semalam ini? Enggan rasanya aku menghampiri pintu untuk mencari
tahu, namun tubuh ini otomatis bangkit dari duduk dan beranjak menuju pintu.
Tepat, ketika aku membukanya, seolah seluruh tubuh ini teracuni oleh suasana
hingga akhirnya membeku. Mataku membeliak.
“Arindya?”
Dan
ini benar-benar gila.
***
“Apakah
ini perpisahan?”
Kau
tidak menjawabnya. Menjadi malam yang dingin tanpa rembulan. Menyisakan senyap
yang mengulum bibirku. Kau tidak memberiku pilihan. Pergi adalah kata yang
kauselusupkan di dalam takdirku. Kedatanganmu tanpa sebab dan begitu tiba-tiba.
Kau hanya menyematkan senyum di wajah yang (dulu) pernah membingkai spesial di
semestaku.
Senyum
yang pernah kurindukan sangat lama. Namun, mengapa harus di momen seperti ini?
Dan lagi, pertanyaan tadi seolah terlontar begitu saja. Tubuhku tidak memberikan respon, serupa tidak
tahu harus berbuat apa-apa, ketika sekian lama kepergianmu, bayangmu hadir di
depan pelupuk mataku. Permainan apa lagi yang Tuhan berikan?
“Bila
kauenggan menjawab, mengapa kau berdiri di sana dengan air mata?”
Tanpa
hujan, kau membeku di ambang pintu. Melahirkan sesak yang bercampur rindu. Ini
tidak seharusnya terjadi. Malam seperti ini tidak seharusnya datang. Yang ada,
kaupulang dengan sejuta harapan yang dulu telah kubakar menjadi abu. Sama
sepertimu. Ketika riak air matamu telah alir di sepanjang pipi, menetes melalui
dagu tirusmu menuju relung kenangan yang telah lama kering di dalam dadamu.
Mata cokelat yang dulu pernah menghadirkan rasa tenang di riuh gelombang
pikiranku.
“Sampai
kapan kauingin membunuhku dengan diammu?”
Masih
saja hening. Matamu yang berkaca sesaat seperti memantulkan masa silam yang
pernah kuinginkan. Semesta ini rasanya menjadi milik kita berdua. Tunggu,
maksudku, kau. Rasa dingin yang menusuk tanpa hujan. Tanpa kata. Aku menunggu,
detik demi detik berpihak padaku, menyelundupkanku ke dalam ruang-ruang
pikiranmu untuk mencari tahu, seperti apa rasanya ketika masa lalu kembali
menghantui danau perasaan yang sebelumnya mengering dan kini perlahan terisi
kembali?
Seperti
apa rasanya aku menjelajah pikiranmu sementara kau mulai memikirkan lelaki itu?
“Arindya,
tolong ... katakan sesuatu.”
Bibirmu
mulai membuka. Aku menunggu sepatah kata meluncur dari sana. Meski rasanya
seperti ribuan detik yang telah sirna selama kepergianmu. Tetapi, percuma.
Dengan diam itu perlahan kau membunuhku, membunuh segala harapan yang selama
ini kubangun setelah akhirnya kepergianmu menjadi takdir yang harus kuterima. Malam
ini meruntuhkan segalanya.
“Aku
rindu,” katamu.
Akhirnya
kaulah yang memecah keheningan itu. Ajaibnya, lidahku kini sudah melemas,
taklagi terkunci seperti tadi. Menatap lengkung senyum dan tatapan teduh itu
sekali lagi, membuatku semakin tenggelam dalam lautan kenangan. Bagaimana bisa
aku yang selama ini selalu menyematkan namamu di dalam doa, berharap Tuhan mau
memutar waktu kembali dan akhirnya, Ia mengabulkan doa itu hari ini. Tetapi,
bukan seperti ini isi doa itu. Bukan dalam bentuk seberkas bayangan yang terasa
begitu nyata.
“Kamu
pasti mengira aku tidak nyata, kan?”
Aku
tidak bisa menjawabnya. Laiknya kata demi kata ingin keluar dari tenggorokanku
namun rasanya ada kemacetan akut di sana yang mencegahku mengeluarkannya,
mengunci segala alasan yang bisa dipikirkan. Kita masih berada di posisi yang
sama, aku di balik pintu dan kau di depanku. Air matamu kian menderas. Wajah
itu, laiknya terakhir ketika aku menatapmu duduk sendirian seusai wisuda di
bangku taman Gladiator tempat kita biasa menikmati hujan.
Tanpa
perlu merasa percaya diri, aku tahu, aku yang kautunggu di sana. Kehadiran
seseorang yang selalu mengisi hari-hari sementara kau menjalani hubungan dengan
kekasih yang sesungguhnya hanya demi sebuah ikatan yang katamu tidak baik untuk
diputuskan begitu saja. Bagaimana bisa kau terus membohongi diri sendiri tanpa
menyakiti?
Bila
itu bukan kau, berarti itu aku. Yang menjalani perjalanan selama sekian tahun
denganmu, dengan segala kenangan yang kita lalui, dan menemukan bahwa hanya
sebatas itu kita; bisa melangkah bersama. Dibatasi dinding bernama
ketidakmungkinan.
Seluruh
tubuhku bergemetar. Dadaku begitu riuh. Aroma parfum Lavender yang kaukenakan
memelesat cepat ke dalam hidungku. Sesaat, aku begitu paham dengan apa yang
sedang terjadi di semestaku. Pun, aroma ini membuatku rindu masa-masa lampau
kita.
Rindu menyergapku dengan cepat tanpa
basa-basi.
“Aku
ini nyata, Kal. Aku kembali untukmu.”
Perasaan
itu begitu menerobos ke dalam jiwa. Menerabas reranting harapan yang mati di
dalam dadaku. Setelah kau kembali ke dalam mimpiku lagi, kau benar-benar
menghancurkan segala kehidupan baru yang sedang kubangun. Dan kini, tiba-tiba
aku sudah ada di sini lagi dan kau duduk di hadapanku.
Diam
terus hadir menjeda kita. Di diam samudra matamu, kutemukan bayanganku yang
pernah tertelan oleh waktu muncul kembali. Aku tahu ada banyak yang ingin
kaukatakan padaku, Arindya.
Kita
enggan beranjak dari posisi ini. Seperti lantai telah mengikat kaki-kaki kita,
sehingga hanya kedua mata ini yang saling berpadu denganmu, sitatap yang dulu
di sana pernah hidup sebuah samudra.
“Bagaimana
bis—“
“Kamu
enggak senang aku datang ke sini?” potongmu seketika.
“Tentu
saja, Rin. Aku hanya enggak percaya. Sungguh rumit.”
“Rumit
apanya? Katamu, tahun bukanlah masalah untuk menunggu. Jadi, ke sinilah aku
pulang. Rumahku. Rumah kita.”
Kata-kata
yang meluncur itu sungguh menohok. Kau seperti sedang menyerang dengan semua
harapan yang dulu pernah kucipta. Rambut merahmu, hidung tipis dan tajam itu,
pun dengan segala yang ada padamu; aku masih mengingatnya jelas.
“Apa
memang kau tidak menginginkanku lagi?”
“Bukan
seperti itu, Rin.”
“Lalu,
apa?”
“Rumit
kataku.”
“Jelaskan
padaku ....”
“Rin,
kau sudah pergi selamanya!” kataku menahan sesak yang sedari tadi telah
menghantam dadaku berkali-kali. “Kepulanganmu, tidak menjadikanku lebih baik.
Sebaliknya, kau membuatku jadi lebih gila. Kau tidak mungkin kembali, Arindya
... kau ... aku ....”
Tanganmu
membelai pipiku. Kehangatan menjalar dari jemari lembutnya. Bisa kurasakan itu
di pipi ini. Seperti orang yang sungguh kedinginan dan tetiba ia mendapatkan
selimut tebal sebagai peredamnya. Wajahmu yang begitu manis, mengingatkanku
pada pemandangan yang selalu ditunggui bersama hujan.
“Jadi
karena itu kamu menolak kepulanganku?”
“Arindya,
hentikan ....”
“Bagas,
kamu masih merindukanku?”
“Arindya
... tolong, hentikan ....”
Gurat
wajahmu berubah. Seperti menyadari sesuatu yang mengejutkan dan berujung pada
berita buruk. Kau tidak seharusnya mengetahui kebenaran ini. Kau tidak
seharusnya ada di sini.
“Katakan,
Bagas ... katakan ....”
“Hentikan,
Rin ....”
“Katakan,
Bagas. Dan aku akan pulang.”
“KAU
SUDAH PERGI, ARINDYA! DAN AKU TIDAK INGIN MERINDUKANMU SATU KALI LAGI!”
Napasku
sungguh terengah-engah seusai mengucapkannya. Kau menatapku ngeri dan seakan
penuh benci dan tidak ingin bertemu lagi. Perlahan, jemarimu melepas dari pipi
dan kembali seperti posisi semula. Malam ini kian dingin. Hujan di matamu kian
menderas. Wajahku hanya bisa menunduk, berusaha untuk tidak melewati momen yang
sungguh menusuk hati—hujan yang sama pun mulai membasahi wajah.
“Kenapa
kamu enggak datang di wisudaku?”
Aku
terkesiap. Tidak bisa langsung menjawabnya. Momen itu. Momen di mana aku
sengaja melakukannya; dan aku tahu kau pasti akan membenciku untuk itu.
“Hari
wisudamu adalah hari di mana kita akan terakhir bertemu. Perasaanku tidak siap
menghadapinya. Pun tidak bisa menghancurkan mimpimu untuk kuliah lagi di luar
negeri.”
Aku
ingat bagaimana hari-hari yang kita jalani selepas pertemuan pertama itu. Kita
menjadi sangat dekat. Sampai aku sendiri bingung mendefinisikannya. Aku hanya
bisa menatapmu dari jarak yang membuatmu tak menemukan aku. Dua tahun lamanya
hingga beberapa bulan menuju kelulusanmu, kutemukan kau menangis di belakang
Gymnasium Kampus Pertanian. Di sana kauceritakan bahwa sebentar lagi kau akan
meninggalkan Bogor. Lalu, perihal dirimu yang menerima beasiswa kuliah ke luar
negeri untuk melanjutkan sarjanamu.
“Apa
susahnya tinggal datang?”
“Aku
enggak bisa, Arindya ....”
“Bahkan
satu menit tidak cukup berarti untukmu?”
“ARIN!”
tanpa sadar tangan kiriku meninju daun pintu dengan bunyi debum keras. Indekos
sedang kosong, sedang tidak ada siapa-siapa. “Kau sungguh bahagia siang itu. Kekasihmu
sungguh bangga padamu siang itu. Aku tidak akan merusaknya. Aku tidak ingin
datang sebagai teman yang berbahagia. Untuk sekali saja, aku tidak ingin
terjebak di dalam percintaan yang menyesakkan. Untuk sekali saja, aku ingin
menjadi sadar perihal keberadaanku di matamu! Pilihanku cuman satu: berbahagia
atas wisudamu, lalu menjauh dari hidupmu. Berusaha menunggu bahwa suatu waktu
nanti kita benar-benar akan bertemu lagi dengan situasi yang berbeda.”
“Kenapa
tidak kamu katakan saja perasaanmu padaku?”
“Kau
mengatakannya seolah semua itu mudah diucapkan. Kenyataannya, aku tidak tahu
perihal perasaanmu yang sebenarnya.”
“Kamu
yang bilang, di dalam ingatan, aku tidak pernah mati.”
Bibir
ini seketika kelu. Entah harus menjawab apa. Semua ucapanmu begitu telak
mendera.
“Kamu
mencintaiku, kan?” tanyamu lagi, dengan pandangan yang kian nanar.
Daya
pertahananku melemah. Emosi mulai memanjat keluar dari tebing kegundahanku dan
api mulai menyulut dirinya sendiri di dalam dadaku. Kebekuan ini terasa begitu
kuat.
“Lantas
mengapa tidak kamu singkirkan keegoisanmu dan nyatakan perasaanmu?”
“Biar
kau sadar bahwa aku begitu dalam mencintaimu, Arin!” kataku mengeluarkan segala
yang tidak sempat tersampaikan tentangmu. “Selama tiada jeda yang memisahkan,
selamanya kau akan berpikir bahwa kita akan baik-baik saja sebagai teman. Aku
tidak menginginkan itu. Aku menginginkanmu. Itu kenapa, aku tidak hadir di
wisudamu. Cukuplah, dari kejauhan saja aku berbahagia dan berdoa untuk
kesuksesanmu.”
Mataku
memejam. Mengatakan itu semua membuka kembali lukaku yang paling dalam. Yang
telah lama kujahit bersama waktu dengan menanam harap. Bersama Shofia. Dan aku
tidak ingin kehilangan Shofia seperti aku kehilanganmu. Hadirmu bukan karena
Tuhan berbaik hati meniupkan nyawa dan jiwa kembali ke dalam tubuhmu yang telah
bersatu dengan tanah. Hadirmu menjadi cermin dari kehilanganku yang paling
dalam—yang menggerogoti jantung puisi baruku bersama Shofia.
Tiba-tiba
rasa dingin itu hilang. Lenyap begitu saja. Aku perlahan membuka mata, berusaha
menangkap cahaya yang tadi ada. Setelah kornea mataku menemukan fokusnya,
taklagi kutemukan bayangamu di hadapan. Kau ... menghilang.
Kakiku
taklagi kaku. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
Tuhan, permainan macam apa lagi yang Engkau berikan padaku?
****
Pikiranku
terus terngiang pertemuan terakhir denganmu. Obat yang tepat sepertinya
menonton film. Aku mengajak Irene menonton Spiderman
Homecoming di Botani Square. Dia penggemar berat pahlawan dari komik Marvel
dan DC. Dan benar saja, pikiranku sedikit ringan seselesainya menonton film
itu.
Pulangnya
kami berbarengan karena ketika aku mengajaknya tadi, Irene sedang berada di
hotel Santika selepas dari pertemuan dengan entahlah-siapa-temannya. Sialnya,
bensin motorku habis saat sudah tinggal beberapa puluh meter lagi dari indekos
kami. Dengan terpaksa, kami berjalan berdua menyusuri jalan setapak yang
bersebelahan dengan sawah. Indekos itu ada di ujung gang.
“Sekarang
dia muncul di dunia nyata? Enggak lagi di mimpi?”
Irene
bertanya padaku saat kuceritakan perihal kejadian denganmu semalam. Irene
melipat bagian bawah celana jeansnya
untuk menghindari percikan dari genangan air di jalanan. Aku menuntun motor
Honda Blade-ku melewati jalanan yang berlubang kecil di beberapa titik.
“Seperti
itu ....”
“Justru
pertanyaan yang sama kuajukan lagi. Shofia benar-benar sudah bisa
meyakinkanmu?”
Aku
mengangguk. Sementara kesenyapan seakan hendak menelan kami. Riuh jangkrik di
kejauhan sudah membisingi telingaku. Tubuhku sedari tadi berusaha keras melawan
udara dingin.
“Iya,
Ren ... aku hanya belum tahu kapan harus mengatakannya. Pengalaman lalu dengan
Arindya ... munculnya dia di dalam mimpi ... semuanya menjadi rumit!”
“Kenapa
kamu enggak pernah memperkenalkan Shofia padaku?”
“Aku
tahu perasaanmu padaku, Irene.”
“Alasanmu
selalu saja sama ketika kutanyakan itu. Kamu seolah menjadikannya enggak nyata,
Kal.”
Di
tahap inilah sebenarnya menjadi alasan paling kuat mengapa aku belum juga
mengenalkan Shofia kepada Irene. Aku tahu tidak ada peraturan yang mengharuskan
seseorang mengenalkan seseorang lain yang dicintainya kepada sahabat yang
mereka punya. Irene pernah mengatakan isi perasaannya dan aku menolaknya dengan
halus.
Aku
menghentikan langkah. Kupakirkan motor di pinggir jalan, lalu menyitatap Irene.
Aku tidak ingin membuatnya berpikir yang tidak-tidak atau mengkhawatirkanku
seperti yang selama ini dia lakukan. Bukannya aku tidak nyaman, tapi sebenarnya
diri ini pula yang enggan melibatkan Irene ke dalam rasa bahagiaku dengan
Shofia.
“Sampai
kapan kamu terus berkilah? Aku baik-baik saja tidak menjalani hubungan
denganmu. Tapi, aku hanya ingin tahu bahwa kamu memang benar-benar bisa
mendapatkan kehidupan yang kamu inginkan itu dengan pasti,”
“Sampai
waktu yang tepat tiba, Ren.”
“Kamu
pembohong yang buruk, Kal.” Irene duduk di sisi jalan, di bebatuan yang
membatasi jalan dan rumput. Aku mengikuti. Irene melemparkan pandangannya ke
seberang jalan. “Aku tahu kamu bukan melindungi perasaanku. Kamu melindungi
perasaanmu sendiri.”
“Ini
nyata, Ren. Seperti perasaanku padamu. Dan kamu tahu itu.”
“Terserahmu,
Haikal. Kita paham batas kita ada di mana. Sebagai sahabat aku tidak ingin kamu
tenggelam semakin dalam. Aku enggak mau kehilangan kamu.”
Untuk
beberapa saat aku terdiam. Bangkit kembali dari dudukku dan kembali mendorong
motor ke dalam indekos. Malam ini begitu hening dan keheningan ini yang
memisahkan kita di sisa perjalanan. Setelah memarkirkan motor di samping ruang depan,
aku dan Irene masuk melalui ruang tengah, mendorong pintu yang menghubungkan
kami ke koridor terbuka.
Irene
masih begitu diam. Selalu, perdebatan kami berakhir dengan diam di antara kami.
Aku tahu ini salahku. Jawaban yang terbaik adalah dengan mendiamkannya dulu.
Sebelum dia masuk kamar, aku menahan tangannya.
“Terima
kasih, Irene ....”
Dia
memandangku sejenak dan kemudian tersenyum. Pintu kamarnya menutup di depanku.
Mengungkapkan memang sebuah perihal yang sulit dan rumit. Aku pun masuk ke
dalam kamar, menguncinya, dan kemudian merebahkan badan di atas kasur.
0 comments:
Post a Comment