Seperti halnya simpul yang terikat erat, itulah kita. Yang saling menguatkan ketika salah satu dari kita jatuh dalam kesedihan, keterpurukan. Namun, entah mengapa aku merasa kamu perlahan menjauh, hingga rasanya punggungmu jauh sekali dari pandanganku.
Ada satu-dua hal yang lahir sebagai rahasia—sebagai alasan dari langkahku yang harus pergi sejenak. Aku butuh mencari tahu lebih dalam tentang perihal tersebut dan takingin melibatkanmu di dalamnya.
Apakah diriku tak penting lagi, hingga kau pergi tanpa kata? Jarak yang tercipta membuatku tersiksa. Akan lebih baik jika aku tahu alasan di balik jarak yang tercipta ini. Sehingga aku tak harus tenggelam dalam kesunyian.
Maaf bila itu luka, tiada ingin melupakan perihal janji kita akan selalu cerita satu sama lain. Ada satu langkah penting yang menantiku di depan mata—pernikahan. Dan, aku harus yakin betul bila seseorang yang hadir di sana, memang tepat.
Ah, jadi akhirnya kamu menemukan pujaan hatimu? Bagaimana dia? Apa sesuai dengan keinginanmu?
Itu alasan aku harus menjauh. Detik yang kian gulir memberiku banyak cerita—tentangnya yang setia dan membuatku ingin tahu lebih jauh lagi. Ya, bila kautanya tentang seseorang itu; ia lebih dari apa yang kuharapkan.
Baiklah. Kini aku paham atas sikapmu beberapa waktu ke belakang. Maafkan aku yang juga menjauh, tak seharusnya itu kulakukan ketika kamu sedang memilih masa depanmu. Semoga kamu bahagia bersamanya.
Ada rasa bersalah yang terus mendera—dusta pada sahabat adalah dosa yang terpaksa kulakukan. Namun kini, setelah hati setuju dengan semesta, aku ingin menebus segala kesalahan itu. Aku ingin kamu menjadi orang paling depan yang menyaksikan hari bahagiaku dengannya. Kita bisa kembali seperti dulu, bila kamu menginginkannya.
Sungguh aku ingin seperti dulu. Terlebih, aku pun ingin menjadi saksi di hari bahagiamu nanti. Jadi, bolehkah aku membersamai kehidupanmu (lagi)?
Tiada yang salah dengan kita kembali meretas janji silam—janji yang telah kita sepakati untuk saling menyandarkan punggung masing-masint, saling bercerita perihal kehidupan yang dijalani satu sama lain. Aku rindu tawa yang dulu kerap kita lepaskan—bahagia yang dulu kerap kita rasakan. Aku ingin mengulang waktu; bersamamu.
Mari kita hapus lipatan jarak di depan mata. Mari kita lupakan segala hal yang menyakitkan. Dan, mari kita ikat kembali simpul yang sempat terurai.
Sebuah kolaborasi Lid Aida dan Ariqy Raihan,
#KolaborasiAgustus
0 comments:
Post a Comment